Rabu, 06 Oktober 2010

24 kalimat penyejuk hati

1. Jangan tertarik kepada seseorang karena parasnya, sebab keelokan paras dapat menyesatkan. Jangan pula tertarik kepada kekayaannya, karena kekayaan dapat musnah. Tertariklah kepada seseorang yang dapat membuatmu tersenyum, karena hanya senyum yang dapat membuat hari-hari yang gelap menjadi cerah. Semoga kamu menemukan orang seperti itu.

2. Ada saat-saat dalam hidup ketika kamu sangat merindukan seseorang, sehingga ingin hati menjemputnya dari alam mimpi dan memeluknya dalam alam nyata. Semoga kamu memimpikan orang seperti itu.

3. Bermimpilah tentang apa yang ingin kamu impikan, pergilah ke tempat-tempat kamu ingin pergi, jadilah seperti yang kamu inginkan, karena kamu hanya memiliki satu kehidupan dan satu kesempatan untuk melakukan hal-hal yang ingin kamu lakukan.

4. Semoga kamu mendapatkan kebahagiaan yang cukup untuk membuatmu baik hati, cobaan yang cukup untuk membuatmu kuat, kesedihan yang cukup untuk membuatmu manusiawi, pengharapan yang cukup untuk membuatmu bahagia dan uang yang cukup untuk membeli hadiah-hadiah.

5. Ketika satu pintu kebahagiaan tertutup, pintu yang lain dibukakan. Tetapi acapkali kita terpaku terlalu lama pada pintu yang tertutup sehingga tidak melihat pintu lain yang dibukakan bagi kita.

6. Sahabat terbaik adalah dia yang dapat duduk berayun-ayun di beranda bersamamu, tanpa mengucapkan sepatah katapun, dan kemudian kamu meninggalkannya dengan perasaan telah bercakap-cakap lama dengannya.

7. Sungguh benar bahwa kita tidak tahu apa yang kita milik sampai kita kehilangannya, tetapi sungguh benar pula bahwa kita tidak tahu apa yang belum pernah kita miliki sampai kita mendapatkannya.

8. Pandanglah segala sesuatu dari kacamata orang lain. Apabila hal itu menyakitkan hatimu, sangat mungkin hal itu menyakitkan hati orang itu pula.

9. Kata-kata yang diucapkan sembarangan dapat menyulut perselisihan. Kata-kata yang kejam dapat menghancurkan suatu kehidupan. Kata-kata yang diucapkan pada tempatnya dapat meredakan ketegangan. Kata-kata yang penuh cinta dapat menyembuhkan dan memberkahi.

10. Awal dari cinta adalah membiarkan orang yang kita cinta menjadi dirinya sendiri, dan tidak merubahnya menjadi gambaran yang kita inginkan. Jika tidak, kita hanya mencintai pantulan diri sendiri yang kita temukan di dalam dia.

11. Orang-orang yang paling berbahagia tidak selalu memiliki hal-hal terbaik, mereka hanya berusaha menjadikan yang terbaik dari setiap hal yang hadir dalam hidupnya.

12. Mungkin Tuhan menginginkan kita bertemu dengan beberapa orang yang salah sebelum bertemu dengan orang yang tepat, kita harus mengerti bagaimana berterima kasih atas karunia itu.

13. Hanya diperlukan waktu semenit untuk menaksir seseorang, sejam untuk menyukai seseorang dan sehari untuk mencintai seseorang tetapi diperlukan waktu seumur hidup untuk melupakan seseorang.

14. Kebahagiaan tersedia bagi mereka yang menangis, mereka yang disakiti hatinya, mereka yang mencari dan mereka yang mencoba. Karena hanya mereka itulah yang menghargai pentingnya orang-orang yang pernah hadir dalam hidup mereka.

15. Cinta adalah jika kamu kehilangan rasa, gairah, romantika dan masih tetap peduli padanya.

16. Hal yang menyedihkan dalam hidup adalah ketika kamu bertemu seseorang yang sangat berarti bagimu dan mendapati pada akhirnya bahwa tidak demikian adanya dan kamu harus melepaskannya.

17. Cinta dimulai dengan sebuah senyuman, bertumbuh dengan sebuah ciuman dan berakhir dengan tetesan air mata.

18. Cinta datang kepada mereka yang masih berharap sekalipun pernah dikecewakan, kepada mereka yang masih percaya sekalipun pernah dikhianati, kepada mereka yang masih mencintai sekalipun pernah disakiti hatinya.

19. Sungguh menyakitkan mencintai seseorang yang tidak mencintaimu, tetapi yang lebih menyakitkan adalah mencintai seseorang dan tidak pernah memiliki keberanian untuk mengutarakan cintamu kepadanya.

20. Masa depan yang cerah selalu tergantung kepada masa lalu yang dilupakan, kamu tidak dapat hidup terus dengan baik jika kamu tidak melupakan kegagalan dan sakit hati di masa lalu.

21. Jangan pernah mengucapkan selamat tinggal jika kamu masih mau mencoba, jangan pernah menyerah jika kamu masih merasa sanggup jangan pernah mengatakan kamu tidak mencintainya lagi jika kamu masih tidak dapat melupakannya.

22. Memberikan seluruh cintamu kepada seseorang bukanlah jaminan dia akan membalas cintamu! Jangan mengharapkan balasan cinta, tunggulah sampai cinta berkembang di hatinya, tetapi jika tidak, berbahagialah karena cinta tumbuh di hatimu.

23. Ada hal-hal yang sangat ingin kamu dengar tetapi tidak akan pernah kamu dengar dari orang yang kamu harapkan untuk mengatakannya. Namun demikian janganlah menulikan telinga untuk mendengar dari orang yang mengatakannya dengan sepenuh hati.

24. Waktu kamu lahir, kamu menangis dan orang-orang di sekelilingmu tersenyum - jalanilah hidupmu sehingga pada waktu kamu meninggal, kamu tersenyum dan orang-orang di sekelilingmu menangis.

Ingat Allah (Dzikrullah)

Oleh : Hj. R. Farida Fauzy

Allah SWT tidak menciptakan hamba-Nya untuk suatu kesia-siaan. Ada amanah yang harus diemban dalam menjalani kehidupan di dunia ini, utamanya menjalankan perintah-Nya agar menyembah dan beribadah kepada-Nya.

Berzikir (mengingat Allah) adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Allah dan merupakan salah satu aktivitas ibadah untuk meraih kecintaan-Nya. Dengan berzikir, cahaya petunjuk Allah akan selalu menyertai kehidupan.

"Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Dan Dia-lah yang memberi rahmat kepadamu dan para malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang), dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman." (QS. Al Ahzab (33):41-43)

Dzikrullah, mengingat Allah, menyebut nama-Nya, mengakui keberadaan-Nya, merasakan kenikmatan yang dianugerahkan-Nya, tertunduk dihadapan-Nya, memuji-Nya, mengagungkan-Nya, adalah salah satu jalan untuk menuju kepada Allah, jalan untuk mendekat kepada-Nya, jalan untuk diingat oleh-Nya. "Ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat pula kepadamu ..." (QS. Al Baqarah (2):152)

Tentunya bila Allah ingat kepada kita, manfaat yang sangat besar akan kita rasakan. Mengingat Allah dan merasa dekat dengan-Nya, akan menjadikan diri kita dapat merasakan limpahan kasih sayang-Nya, dapat merasakan pertolongan-Nya, dapat merasakan kehebatan kekuasaan-Nya, dapat pula merasakan keindahan dan nikmatnya kehidupan dalam pengaturan-Nya.

Dan betapa indah janji Allah bagi hamba-Nya yang mau mengingat dan mendekat kepada-Nya. Sebagaimana disebutkan di dalam kitab Ash-Shahihain, sebuah hadis dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, "Allah berfirman, "Aku menurut prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Dan Aku bersamanya jika ia mengingat-Ku. Dan jika ia mengingat-Ku dalam jiwanya, maka Aku pun megingatnya di dalam Dzat-Ku. Dan jika ia mengingat-Ku di tengah orang banyak, maka akan Aku ingat ia di tengah kerumunan orang yang lebih baik darinya. Jika ia mendekatkan diri kepada-Ku sejengkal, Aku pun akan mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku pun mendekat kepadanya satu depa. Dan jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku pun akan datang kepadanya dengan berlari cepat."

Dengan berzikir kehidupan dapat dijalani dengan lebih nikmat, bukan dalam kegelapan yang tanpa arah. Segala permasalahan dapat dihadapi dengan penuh kesabaran, tidak lagi menjadikan kegelisahan atau keputusasaan, melainkan akan menjadi jalan untuk dapat mengingat Allah dan berusaha mendekat kepada-Nya.

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya..." (QS Al Maidah 5:35)

Dengan zikir dan doa, optimisme lahir, dengan itu pula sering kali menjadi jalan bagi seseorang mendapati ketenangan dan kedamaian, sirna kegelisahan, dada terasa lapang, pikiran menjadi terang. Indahnya kehidupan akan dapat dirasakan, bila senantiasa hidup ini diiringkan dengan banyak mengingat Allah. "(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram" (QS. Ar-Rad (13):28)

Sebagai ilustrasi, bila kita menjadi seorang anak yang selalu mengingat dan memperhatikan orang tua, niscaya orang tua kita pun akan selalu teringat kepada kita. Mereka akan selalu membela, menyayangi dan tidak akan pernah rela membiarkan anaknya menderita.

Allah SWT adalah yang kasih sayang-Nya begitu hebat melebihi kasih sayang orang tua pada anaknya. Tentunya kepada hamba yang selalu mengingat dan mematuhi aturan yang ditetapkan-Nya, Dia akan selalu menganugerahkan rahmat dan maghfirah-Nya. Rasulullah saw., bersabda, "Perbanyaklah mengingat Allah dalam segala hal. Sebab tidak ada perbuatan yang sangat disenangi Allah dan dapat menyelamatkan seorang hamba dari kejahatan dunia dan akhirat selain banyak berzikir kepada Allah."

Dzikrullah, tidak terbatas hanya dalam ibadah khusus ritual saja. Namun ia mencakup pula seluruh aktivitas yang berhubungan dengan makhluk ciptaan-Nya. Merasakan dinginnya setetes embun di pagi hari, melihat indahnya bunga yang berwarna warni, mendengar kicau burung dan gemericiknya air. Semua itu dapat menjadi sarana untuk dapat mengingat Allah Sang Pencipta dan Penguasa alam.

Tidak dapat diragukan lagi, menyadari hal-hal tersebut merupakan salah satu bentuk dan cara berzikir yang diajarkan oleh Alquran. Seperti halnya di dalam surat Ar-Rahman (55) berulang-ulang Allah menggugah hati manusia untuk mengingat nikmat-nikmat-Nya yang terbentang di alam raya, di samping mengingatkan janji dan ancaman-Nya.

Dalam sebuah hadis diberitakan, bahwa ada seseorang yang mengadu kepada Rasulullah saw., "Ya Rasulullah, sesungguhnya pintu kebaikan itu amatlah banyak. Saya tidak mampu melakukan semuanya. Beritahukanlah kepadaku sesuatu yang dapat saya pegang teguh. Saya mohon jangan terlalu banyak hingga memberatkanku dan menjadikan aku mudah melupakannya." Kemudian Rasulullah saw. menjawab,"Senantiasalah engkau menjaga lidahmu basah karena mengingat Allah." (H.R. at-Tirmidzi, Ahmad, Al Hakim dan Baihaqi)

Di lain kesempatan Rasulullah saw. pernah berpesan, "Janganlah banyak berbicara tanpa mengingat Allah, karena bicara tanpa mengingat Allah akan mengakibatkan hati menjadi keras; dan sesungguhnya orang yang paling jauh dari Allah adalah yang berhati keras."

Dalam hadits Qudsi ditegaskan: "Barang siapa yang lebih sibuk berzikir kepada-Ku daripada berdoa, maka Aku pasti memberikan kepadanya yang lebih utama daripada yang diberikan kepada orang-orang yang meminta."

Wallahu alam bish-showab.

Penulis, pengasuh Majelis Dzikir Al Farras Bandung.

Sukses Sejati

Oleh : KH. Abdullah Gymnastiar

Semoga Allah Yang Maha agung, mengaruniakan kepada kita kehati-hatian atas kesuksesan karena orang yang diuji dengan kegagalan ternyata lebih mudah berhasil dibandingkan dengan mereka yang diuji dengan kesuksesan. Banyak orang yang tahan menghadapi kesulitan, tetapi sedikit orang yang tahan ketika menghadapi kemudahan dan kelapangan.

Ada orang yang bersabar ketika tidak mempunyai harta, tetapi banyak orang yang hilang kesabaran ketika hartanya melimpah. Ternyata, harta, pangkat, dan gelar yang sering kali dijadikan sebagai alat ukur kesuksesan, dalam praktiknya malah sering membuat orang tergelincir dalam kesesatan dan kekeliruan.

Saudaraku yang budiman, setiap manusia pasti di dalam lubuk hatinya mempunyai cita-cita di masa depannya, dengan tergambar dalam pikirannya akan gemilang dan kesuksesannya. Namun, tidak sedikit dari sahabat-sahabat kita kebingungan dalam mengartikan kesuksesan itu sendiri.

Lantas, apakah sebenarnya makna dari sebuah kesuksesan? Setiap orang bisa jadi memiliki paradigma yang berbeda mengenai kesuksesan. Namun secara sederhana, sukses bisa dikatakan sebagai sebuah keberhasilan akan tercapainya sesuatu yang telah ditargetkan. Pada dasarnya, dalam dimensi yang lebih luas, sukses adalah milik semua orang. Namun, persoalan yang sering terjadi adalah bahwa tidak semua orang tahu bagaimana cara mendapatkan kesuksesan itu.

Dalam paradigma Islam, kesuksesan memang tidak hanya dilihat dari aspek duniawi, namun juga ukhrawi. Untuk itu, kita butuh suatu sistem atau pola hidup yang memungkinkan kita untuk dapat meraih sukses di dunia sekaligus di akhirat. Satu hal yang sejak awal harus direnungi bahwa sukses dunia jangan sampai menutup peluang kita untuk meraih sukses akhirat. Justru sukses hakiki adalah saat kita berjumpa dengan Allah nanti. Apalah artinya di dunia dipuji habis-habisan, segala kedudukan digenggam, harta bertumpuk-tumpuk, namun ternyata semua itu tidak ada harganya secuil pun di sisi Allah.

Orang yang sukses sebenarnya adalah orang yang berani taat kepada Allah, dan berhasil menjauhi segala larangan-Nya. Orang yang sukses sejati adalah orang yang terus-menerus berusaha membersihkan hati. Di sisi lain, dia terus meningkatkan kemampuan untuk mempersembahkan pengabdian terbaik, di mana hal itu akan terlihat dari keikhlasan dan kemuliaan akhlaknya. Sukses akhirat akan kita raih ketika sukses dunia yang didapatkan tidak berbenturan dengan rambu-rambu larangan Allah. Betapa bernilai ketika sukses duniawi diperoleh seiring ketaatan kita kepada Allah SWT.

Sebenarnya, siapa pun bisa menjadi orang mulia dan sukses, tak peduli ia seorang pembantu rumah tangga, guru, tukang sayur, atau pejabat pemerintah. Selama orang itu bekerja dengan baik dan benar, taat beribadah, dan akhlaknya mulia, dia bisa menjadi orang sukses.

Bukan jabatan yang membuat seseorang terlihat baik. Itu semua hanyalah "topeng". Semuanya tak ada apa-apanya kalau pribadinya sendiri tak berkualitas. Oleh karena itu, pantang kita hormat kepada orang yang tidak menjadikan kemuliaannya untuk taat kepada Allah.

Dalam Alquran Surat Al-Hujuraat ayat 13 Allah berfirman, "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antaramu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu". Jadi, yang paling mulia bukanlah orang yang paling banyak gelarnya atau orang yang paling kaya dan dianggap paling sukses. Orang mulia dan sukses adalah orang yang berhasil mengenal Allah. Lalu, dia taat pada-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Orang yang sukses adalah orang yang paling berhasil menata dirinya, menata pikirannya, menata matanya, menata mulutnya sehingga hidup ini ada di jalan yang tepat, yang disukai Allah. Posisi apa saja tidak apa-apa, tidak harus menjadi orang top dalam pandangan manusia, yang penting top dalam pandangan Allah. Toh, tidak mungkin satu negara presiden semuanya. Tidak mungkin kita jenderal semua. Kalau kesuksesan dianggap jenderal, cuma sedikit orang yang sukses.

Orang yang sukses adalah orang yang tidak merasa suci dan ingin dipuji. Orang sukses selalu bisa memuji Allah, dan tobat memohon ampun. Dia sadar bahwa apa pun yang diperolehnya adalah amanah. Insya Allah kita songsong saat kematian kita besok lusa dengan mempersembahkan karya terbaik kita dalam kehidupan. Ikhlas karena Allah. Itulah misi kehidupan kita, bukan pengumpul dunia yang akan kita tinggalkan. Itulah makna sukses yang sejati. Wallahualam. ***

Selalu Puas Atas Pemberian Allah SWT.

Oleh : Habib Alwi Assagaf

Sayidina Ali bin Abi Thalib k.w. yang merupakan pintu gerbang kota ilmu Rasulullah saw. berkata, "Sesungguhnya aku telah membaca kitab Taurat, Zabur, Injil, dan Al-Furqan. Kemudian kuambil satu kalimat sebagai intisari dari keempat Kitab Samawi tersebut. Aku ambil kalimat inti dari Taurat, `Barangsiapa yang puas atas pemberian Allah (Qana`ah), maka dia akan selalu kenyang`. Aku ambil kalimat inti dari Zabur, `Barangsiapa yang mampu meninggalkan keinginan-keinginan muluknya, maka ia akan selamat dari malapetaka`. Aku ambil kalimat inti dari Injil, `Barangsiapa yang taat, maka dia akan sukses`. Dan aku ambil kalimat inti dari Al-Furqan, `Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan selalu mencukupinya`." (Q.S. Ath-Thalaq: 3)

Qana`ah yaitu merasa puas dan menerima dengan senang hati apa pun yang diberikan Allah SWT kepada kita. Apakah bentuk pemberian tersebut sesuai dengan keinginan kita ataupun tidak, dengan satu keyakinan bahwa kenyataan itulah yang terbaik dan paling maslahat bagi kita, sebab hanya Allah SWT yang Mahatahu, Mahabijak, dan Maha Penyayang terhadap hamba-Nya.

Siapa yang beriman kepada Allah SWT tentu ia akan mematuhi semua perintah-Nya dan melaksanakan apa-apa yang dikehendaki-Nya, lalu menyerahkan urusan dirinya secara total kepadan-Nya serta tidak sembrono dalam beribadah kepada-Nya. Doa adalah roh ibadah yang merupakan kewajiban mutlak bagi setiap hamba selama ia merasa dan menyadari kefakiran dirinya serta masih punya kebutuhan terhadap Allah.

Seorang mukmin sejati akan senantiasa berdoa dan menyampaikan hajat-hajatnya kepada Allah SWT, kemudian ia berusaha dengan sekuat tenaga untuk mendapatkan apa yang ia harapkan. Sebab, hakikat doa adalah usaha itu sendiri. Demikian juga bahwa pemberian Allah SWT tidak turun begitu saja kepada manusia kecuali harus ada sebab-musababnya dan melalui suatu proses hukum alam (sunatullah) yang Dia berlakukan di jagad raya ini.

Oleh karena itu, doa dan usaha tidak bisa dipisahkan karena merupakan bagian dari sebab-musabab atau mekanisme untuk melewati dan menerobos hukum alam itu sehingga akhirnya antara doa, usaha, dan perkenaan (ijabah) Allah SWT bertemu di satu titik, saat itulah apa yang diinginkan si hamba akan diturunkan. Namun, perlu diingat juga bahwa doa dan usaha ini harus disertai tawakal yaitu penyerahan diri dan semua urusan kepada Allah SWT dengan satu keyakinan bahwa Dialah pemilik kekuasaan tertinggi di atas hamba-hamba-Nya dan Dialah yang Maha Mengatur segala urusan.

Tawakal bukanlah suatu pilihan terakhir yang dipaksakan atau solusi kepepet atas usaha-usaha kita yang gagal, juga bukanlah satu sikap semu untuk menghibur batin kita yang sebenarnya sedang kecewa. Tawakal juga bukan berarti berdiam diri menyerah pada kenyataan dan tidak mau merubah keadaan, tetapi tawakal adalah sebentuk kesadaran yang lahir dari keyakinan puncak seorang hamba kepada Tuhannya. Bahwasannya manusia hanya bisa berkehendak, berdoa, dan berusaha, namun hasil adalah mutlak di tangan Allah SWT.

Tawakal seperti sebuah pipa atau selang, sedangkan doa dan usaha adalah air yang mengalir di dalamnya. Supaya aliran air berjalan lancar tanpa gangguan maka pipanya pun harus selalu dalam keadaan bagus dan normal. Tatkala kita memulai doa dan usaha, saat itu juga tawakal harus senantiasa menyertai keduanya. Setiap doa dan usaha yang tidak dibarengi dengan tawakal, akan berujung pada kekecewaan dan keputusasaan.

Nabi saw. bersabda, "Barangsiapa yang menggantungkan dirinya terhadap akal dan kecerdasannya maka dia akan tersesat. Barangsiapa yang mengantungkan dirinya terhadap harta dan kekayaannya maka ia akan selalu miskin. Barangsiapa yang menggantungkan dirinya terhadap reputasi dan jabatannya maka ia akan terhina. Tetapi barangsiapa yang menggantungkan dirinya kepada Allah maka ia tidak akan pernah tersesat, miskin, ataupun hina".

Setelah doa dan usaha yang disertai tawakal itu dilakukan, apa pun bentuk hasilnya, sesuai harapankah atau tidak, kita harus menerimanya dengan puas dan senang hati. Inilah esensi Qana`ah. Orang yang merasa puas dengan apa yang diberikan, ia akan dibebaskan dari kesedihan dan keletihan.

Rasulullah saw. mengajarkan kepada Imam Ali as., "Wahai Ali, jika engkau bisa qana`ah, maka engkau dengan para raja dan penguasa di dunia ini akan berada dalam satu level. Wahai Ali, sesungguhnya qana`ah adalah kekayaan yang tidak pernah habis dan kerajaan yang takkan pernah musnah. Wahai Ali, jika engkau menginginkan kemuliaan dunia dan akhirat maka putuskanlah semua keinginanmu terhadap apa-apa yang ada di tangan manusia. Sesungguhnya derajat-derajat tertinggi yang telah dicapai para nabi dan rasul adalah karena mereka telah memutuskan harapannya terhadap apa-apa yang ada di tangan manusia".

Memang sangat sulit menerima kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan, namun kita harus belajar dan mencoba menghendaki realitas tersebut dengan qana`ah. Sebab, dengan jalan inilah kita akan senantiasa mendapat ketentraman dan kepuasan batin, dan mampu bersyukur dalam segala keadaan. Sebaliknya, ketika qana`ah seseorang menurun, hawa nafsunya yang akan meningkat. Dari sinilah muncul berbagai macam penyakit jiwa, depresi, frustasi, stres, dsb. yang diakibatkan oleh hasrat-hasrat duniawi dan dorongan hawa nafsu serakah yang tidak terpuaskan.

Allah SWT berfirman kepada Nabi Daud as., "Wahai Daud, engkau punya keinginan dan Aku pun punya keinginan. Jika engkau puas dan rela menerima keinginan-Ku, maka Aku akan berikan semua keinginanmu, tetapi jika engkau tidak rela menerima keinginan-Ku, maka Aku akan persulit semua keinginanmu. Dan setelah itu, tidak akan ada yang terjadi melainkan atas keinginan-Ku".

Cucu Nabi saw., al-Husain r.a. berkata, "Seandainya yang engkau inginkan tidak ada, maka inginilah (nikmatilah) yang ada". Qana`ah ibarat kapal keridaan Ilahi, mengangkut siapa pun yang ada di atasnya menuju istana kerajaan Tuhan. Milikilah keyakinan pada apa yang belum kita dapatkan dan rasa puas pada apa yang telah didapatkan.

Apabila orang yang beriman dan puas hatinya bersumpah bahwa pada akhirnya ia akan memperoleh kedua dunianya, Allah SWT akan membenarkannya dalam hal itu, dengan mewujudkan harapannya melalui kebesaran hati, keyakinan, dan kepuasan batinnya. Allah SWT berfirman, "Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (Q.S. An-Nahl: 97)

Imam Ali menjelaskan bahwa yang dimaksud Hayaatan Thayyibah dalam ayat ini adalah suatu kehidupan yang baik, manis, dan indah yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang qana`ah. Dia juga menambahkan, "Sesungguhnya kekayaan dan kemiskinan selalu berkeliling dan berpindah-pindah dari satu orang kepada yang lainnya, keduanya tidak pernah berkumpul pada satu orang, kecuali dalam diri orang yang qana`ah".

Bagi orang yang qana`ah, kaya atau miskin, dalam kondisi senang maupun susah, ketika urusannya lancar ataupun macet, ia tetap bisa menikmati hidup dengan kepuasan hati dan ketentraman batinnya. Sedangkan di akhirat kelak, surga telah menantinya.

Penulis, Ketua Majelis Habib, Jln. Kembar VI No. 8 Bandung.

Jangan Membanggakan Jerih Payah dan Amal Perbuatan

Diambil dari buku Telaga Ma'rifat, karya Syaikh Ibnu Athaillah

"Orang yang membangga-banggakan jerih payah dan perbuatannya, ketika gagal akan berkurang harapannya terhadap rahmat Allah"

Sebagai orang yang belajar ilmu ma'rifat, maka janganlah kita mempunyai anggapan bahwa segala sesuatu yang telah kita raih itu semata-mata atas jerih payah sendiri.

Hendaknya kita menghindari anggapan semacam itu. Karena jika kita terbiasa merasa bahwa keberhasilan hidup, kebahagiaan, rejeki yang melimpah, jabatan dan lain sebagainya itu semata-mata karena perjuangan kita, maka tentu mata hati akan tertutup dari kebenaran.

Suatu saat jika kita menghadapi kegagalan dari jerih payah yang kita lakukan, maka yang timbul hanyalah penyesalan. Kita dapat menyalahkan diri sendiri, bisa juga menyalahkan orang lain, dan mungkin pula menyalahkan Allah, na'udzu billaahi min dzaalik.

Manusia seringkali lupa bahwa di balik daya upaya dirinya itu ada Kekuatan Yang Maha Kuat. Kekuatan Yang Berkuasa dan menentukan harapan-harapannya. Jika mata hati kita tajam dan indra keenam cukup merasakan, maka kita akan melihat bahwa asal penyebab di balik jerih payah dan hasil yang kita dapatkan hanyalah dari Allah semata.

Bagi orang yang telah memiliki ilmu ma'rifat, kehidupan di duniaini dipandang oleh mata hatinya sebagai 'permainan'. Karena ia menganggapnya sebagai permainan, maka jika menemukan kegagalan, jiwanya tetap tegar. Jika mendapati kenikmatan atau keberhasilan, ia tak akan tinggi hati.

Kebanyakan diantara manusia lupa diri. Mereka menganggap semua harapan itu dapat diraih dengan kekuatan usahanya sendiri. Karenanya jika ia telah dapat mencapai kenikmatan hidup, akhirnya jadi berbangga diri. Mereka mengingkari nikmat yang dirasakan. Mereka lupa bahwa yang menentukan hasil akhir dari jerih payahnya adalah Tuhan. Tanpa campur tangan kekuasaan-Nya, tak mungkin dapat mencapai kenikmatan itu.

Jika kita lupa bahwa takdir Allah itu sangat mempengaruhi jerih payah dan usaha kita, maka kita pasti kecewa ketika menemui kegagalan.

Tetapi, jika kita sadar terhadap adanya penyebab kegagalan di balik usaha, maka kegagalan hanya sebagai peringatan guna memperkuat kesadaran dalam berkehendak.

Hakikat Fakir

Oleh : Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar M.A.

Sesungguhnya, kefakiran dan kemiskinan itu tidak identik dengan kefakiran dan kemiskinan harta. Jika kita merasa fakir dan miskin di hadapan kebesaran dan kekayaan Allah SWT, itulah yang dinamakan “al-faqr”. Orang yang merasakan seperti ini bisa saja hartanya banyak. Dan sebaliknya, orang yang angkuh bisa saja dia miskin. Sudah miskin harta, angkuh lagi di hadapan Allah SWT.

Sebaik-baiknya yang kita inginkan adalah bahagia di dunia dan di akhirat. Kalau kita harus memilih, maka lebih baik bahagia di akhirat, daripada bahagia di dunia saja. Dan lebih jelek lagi, jika di dunia tidak bahagia, di akhirat pun tidak bahagia. 
 
Ada 5 (lima) hal keadaan fakir:

Pertama, jika ia diberikan harta, maka ia tidak akan menyukainya, dan ia akan merasa tersiksa dengan harta tersebut dan tidak mau mengambilnya. Ia selalu menjaga diri dari kejahatan dan kesibukan pada harta tersebut. Inilah yang disebut dengan “zuhud”. Sedangkan orang yang memiliki sifat tersebut dinamakan “zahid”.

Hal ini sungguh sangat berat untuk kita jalani. Jika ada orang yang ketika diberikan harta kepadanya, kemudian ia tidak menyukai harta tersebut, ia merasa tersiksa akan harta itu, dan kemudian dia tidak mau mengambilnya. Mengapa? Karena kebutuhan pokoknya sudah terpenuhi, kemudian tiba-tiba mendapatkan lagi harta dari orang lain, sehingga ia sebetulnya merasa tidak terlalu senang dan juga merasa tersiksa akan harta tersebut. Untuk apa harta yang ia dapatkan lagi tersebut lebih dari apa yang ia butuhkan. Jangan-jangan nanti harta tersebut akan memberatkannya dalam perjalanan menuju Allah SWT.

Jarang sekali yang bisa melakukan ini. Pada umumnya adalah kebalikannya, yaitu sudah dapat harta banyak, kemudian berdoa lagi agar hartanya bertambah banyak.

Memang tidak gampang untuk menjadi zahid. Apabila kita sudah mampu merasakan hal seperti ini, maka kita sudah terpilih menjadi orang yang zahid. Sebenarnya juga tidak terlalu berat untuk menjadi zahid, jika kita sudah membiasakan diri untuk bersikap dekat kepada Allah. Yang kita butuhkan sebenarnya bukan harta Tuhan, bukan rahmat Tuhan, bukan rizki Tuhan, melainkan Tuhannya itu sendiri yang kita butuhkan.
“Ambil harta itu, yang saya butuhkan adalah Engkau ya Allah.” Bahkan ada yang mengatakan, “Ambil surga itu, yang sangat saya butuhkan adalah Engkau ya Allah.” Dia lupa kenikmatan surga itu seperti apa, yang penting “aku memiliki-Mu, aku bersama-Mu ya Allah. ” Ia lupakan surga itu sendiri.

Kita masih awam, sehingga belum sampai kepada tingkatan seperti itu. Tapi tidak mustahil, misalkan kita dapat rizki, dapat promosi untuk jabatan baru, maka kita ucapkan, “Terima kasih ya Allah, saya bersyukur kepada-Mu. Tapi sesungguhnya bukan ini yang paling saya butuhkan. Yang saya butuhkan Engkau ya Allah.”
Pada orang yang seperti ini, ketika rizkinya banyak, dia tidak terlalu bahagia, melainkan Allah sebenarnya yang ia butuhkan. Orang yang seperti ini tidak akan pernah mabuk dengan pemberian Tuhan, melainkan Tuhan itulah yang ia butuhkan. Sebaliknya, jika yang diberikan kebalikannya, seperti: miskin, sakit, kematian, maka yang ia ucapkan adalah, “Tidak apa-apa ya Allah, yang penting aku dekat dengan-Mu, yang penting Engkau tidak menjauhiku.”

Jika kita mampu berprinsip seperti ini, insya Allah, surga akan datang lebih awal menjemput kita. Karena ketika diberikan kekayaan, kita kemudian menjadi tidak mabuk akan kekayaan tersebut. Jadi, seandainya harta itu, atau jabatan itu diambil oleh Tuhan, maka kita tidak terlalu merasa kecewa. Mengapa? Karena memang bukan itu yang paling kita butuhkan, melainkan Tuhan-lah yang paling kita butuhkan.
Jadi, yang disebut dengan zuhud itu adalah, bahwa jika lebih daripada kecukupannya, maka itu akan menjadi beban pada dirinya sendiri. Persoalannya, definisi cukup itu berapa?

Tingkat kecukupan antara orang kaya dengan orang miskin tentunya berbeda. Tidak pernah ada orang yang merasa cukup. Bagi orang yang dekat dengan Tuhan, pasti dia mampu mendefinisikan apa pengertian cukup itu. Jika kita tidak tahu batas kecukupan tersebut, merupakan pertanda bahwa ada masalah diri kita dengan Allah.

Orang yang merasa kelaparan saja bisa merasa cukup, “Ya Allah, terima kasih. Mungkin ini yang terbaik pilihan-Mu. Karena jika aku kekenyangan, maka aku tidak bisa khusyu’ dengan-Mu.”
Kita tentunya bercita-cita menjadi orang yang seperti ini. Karena untuk menjadi orang yang zuhud itu tidak mesti harus melarat. Jika kita sudah mampu bersikap agar harta yang yang kita miliki tersebut tidak membebani kita, maka hal tersebut sudah cukup untuk menjadikan kita sebagai seorang zahid.

Misalkan: walaupun hartanya banyak, depositonya banyak, sahamnya di mana-mana, tapi ia merasa tidak terbebani. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena ia selalu berzakat, bahkan juga berwakaf. Alangkah kikirnya bagi seorang yang kaya, jika pengeluarannya hanyalah zakat. Kelewatan kikir bagi orang tersebut, karena hanya 2,5 persen yang ia keluarkan untuk zakat. Sudah selayaknya ia juga mengeluarkan shadaqah, infaq, jariyah, hadiah kepada pembantu yang akan pulang kampung misalnya, ada ujrah (upah yang meningkat) yang diberikan kepada karyawannya. Meningkatkan gaji karyawan, kelebihan dari standardnya itu adalah shadaqah. Hal-hal ini menjadikan seseorang tidak terbebani oleh harta bendanya tersebut.

Bagaimanakah caranya agar kita tidak terbebani, walaupun harta yang kita miliki begitu banyaknya? Tidak bermasalah bagi kita, walaupun Tuhan akan menjemput kematian kita hari ini. Karena semua harta yang kita miliki sudah beres dan bersih. Lebih dari sekedar zakat yang kita keluarkan, bahkan misalkan sudah ada wasiat, bahwa jika kita meninggal, maka sepertiga dari harta kita diikhlaskan untuk fi sabilillah, dan tiga perempatnya untuk keluarga. Sebagai catatan, bahwa di dalam Fiqh Islam juga tidak dibenarkan berwasiat lebih dari sepertiga itu.

Kedua, bahwa ia tidak menyukai harta dengan kesenangan yang dapat menggembirakannya karena dapat meraihnya.
Jika yang pertama adalah orang yang tidak suka dengan harta, sedangkan yang kedua ini ia masih mencari harta. Bahkan ia tidak membenci harta, malahan masih mencari dan menyukainya. Ketika ia diberi harta, maka ia akan zuhud. Jika ia mendapat harta, maka ia akan merasa, bahwa harta tersebut bukan mutlak miliknya, melainkan hanya titipan Allah lewat dirinya. Orang yang memiliki sikap ini disebut sebagai orang yang rela, bukan zuhud. Pada orang yang zuhud (pada yang pertama), memang ada unsur ketidaksukaan lagi kepada harta yang sudah lebih dari batas standard hidupnya.

Ketiga (ini kebanyakan di antara kita), yaitu bila wujud harta itu lebih dicintainya daripada ketidaksenangannya kepada harta.
Maksudnya, cinta terhadap harta lebih dominan dibandingkan tidak senang terhadap harta tersebut (yang hal ini adalah normal), namun tidak sampai menggerakkan orang tersebut untuk mencarinya. Yaitu, tidak semua daftar keinginannya itu akan diburu dan dikejar-kejarnya (ada pembatasan diri). Ia hanya akan mengambil apa yang pantas menjadi haknya. Tetapi jika ia diberikan harta dengan bersih, ataupun gratis tanpa usaha, maka ia juga akan mengambilnya, sepanjang harta tersebut halal.
Pada yang pertama (seperti disebutkan di atas), jika ia mendapatkan harta seperti ini, maka dia akan merasa terbebani. Sedangkan yang ketiga ini, baginya tidak ada urusan hal tersebut (tidak terbebani). Baginya, mendistribusikan harta tersebut lebih mudah dibandingkan untuk memperolehnya. Ia senang jika mendapatkan harta dan keuntungan dengan tiba-tiba tersebut. Inilah kebanyakan di antara kita. Akan tetapi, apabila memerlukan sesuatu usaha dalam mencarinya, maka ia tidak berbuat. Jadi, ada pembatasan-pembatasan diri. Orang yang seperti ini disebut sebagai “orang yang menerima”.

Keempat, ia meninggalkan mencari harta karena kelemahan dan ketidakmampuannya.
Pada yang keempat ini, hidupnya habis untuk mencari harta. Nanti, ketika sudah loyo, sudah tidak ada energi lagi, barulah ia akan berhenti mencari harta. Ketika ia mencari harta, maka ia akan mencarinya dengan kesenangan, meskipun harus berusaha dan bersusah-payah dalam mencarinya. Namun, ketika ia diajak untuk shalat berjamaah misalkan, maka akan banyak sekali alasannya. Orang yang seperti ini di dalam bahasa tasawuf disebut sebagai “orang yang rakus.”

Kelima, ia tidak memiliki harta, padahal ia sangat memerlukannya.
Contoh yang kelima ini adalah orang yang lapar, ataupun orang yang menggelandang di jalanan tanpa memiliki tempat tinggal. Orang seperti ini disebut sebagai “orang yang terdesak.” Ia miskin karena terpaksa, tidak ada jalan lain.

Keterpaksaan seseorang itu menjadi miskin bukanlah disebut al-faqr. “Al-Faqr” itu sebetulnya punya potensi untuk kaya, tapi ia tidak mencapainya, karena ia ingin lebih memprioritaskan dirinya dekat kepada Tuhan.
Kedahagaan itu seperti minum air laut, yang hal tersebut tidak akan menghentikan haus. Dalam hal ini, perlu adanya sikap “al-qana’ah” (tahu diri). Memang, cobaan itu banyak sekali. Misalkan: biasanya ketika pensiun, maka semakin banyak peluang rizki. Itu sebenarnya adalah godaan. Itu adalah cara iblis untuk men-su-ul khatimahkan seseorang. Ketika semakin tua semakin bagus rizkinya, akhirnya semakin tidak punya waktu untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tentunya kita tidak ingin seperti ini. Alangkah lebih baiknya kita regenerasikan kepada generasi penerus kita.

Biasanya, jarang sekali ada yang mau mendelegasikan usahanya, kekayaannya kepada anak-anaknya, sepanjang orang tersebut masih kuat. Sementara anaknya ke sana ke mari mencari kerja. Mengapa tidak ada kepercayaan dalam hal ini? Apakah karena terlalu banyak kekhawatiran, atau karena di alam bawah sadarnya memang sudah disetel oleh iblis dengan berbagai kekhawatiran?
Kadang-kadang, bukan anak kita yang tidak siap, melainkan kita yang terlalu rakus sebagai orang tua. Terlalu besar kekhawatiran kita, padahal itu hanya bisikan iblis. Kita mau menangani semuanya, yang kemudian kita tidak ada waktu lagi untuk beribadah. Suatu waktu ketika ajal menjemput, kita hanya bisa menyesal.
Ketahuilah, bahwa zuhud itu adalah suatu derajat yang merupakan kesempurnaan bagi orang-orang yang baik. Kesempurnaan akhlak seseorang tersebut adalah ketika muncul padanya perasaan zuhud.

Salah satu ciri-ciri dari orang yang zuhud itu adalah “low profile”. Antara orang miskin dengan orang kaya, standard low profile-nya juga berbeda. Bukanlah low profile kalau sesungguhnya orang tersebut sebenarnya pantas untuk memiliki lima lembar pakaian, tapi ia tetap memiliki satu lembar pakaian dengan maksud untuk ber-zuhud. Siapa tahu misalkan pakaiannya itu terpercik najis, maka pakaian mana lagi yang akan ia pakai untuk shalat?

Orang yang ingin ber-zuhud itu sudah semestinya mengantisipasi segala kemungkinan, sehingga kuantitas dan kualitas ibadahnya kepada Allah menjadi tidak berkurang. Antisipasi seperti ini perlu, bagi seorang yang mempunyai perencanaan. Jika akhirat mempunyai perencanaan, maka dunia pun tentunya harus ada perencanaan.

Rasulullah bersabda: “a-‘uzubika minal faqri (Aku berlindung kepada Engkau dari kefakiran).”
Doa Rasulullah tersebut adalah memohon agar tidak menjadi miskin “kere”, bukan miskin seperti yang didefinisikan di atas. Bahkan Allah mengatakan, “qadal faqru ayyakuna kufran (hampir-hampir kefakiran itu menjadi kekufuran).”

Deislamisasi itukan seringnya terjadi di daerah-daerah miskin. Bahwa kadang-kadang karena kefakiran dan kemiskinan, maka orang tersebut pindah agama. Hadits ini memang semestinya menjadi perhatian kita bersama. Jangan sampai kita tidak mau memperbaiki perekonomian kita, yang akhirnya Umat Islam akan menjadi sengsara.

Rasulullah bersabda, “ahyani miskinan wa amitni miskinan (Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, dan matikanlah aku dalam keadaan miskin).” Hadits ini jangan dipertentangkan dengan hadits yang pertama tadi, karena maksudnya berbeda. Hadits yang ini maksudnya adalah miskin di depan Tuhan, sekalipun hartanya banyak.

Kefakiran yang Rasulullah mohon perlindungan dari Allah seperti dalam sabdanya yang pertama di atas adalah kefakiran orang-orang yang terdesak, yang terpaksa miskin karena keadaan. Sedangkan kemiskinan pada sabda yang kedua yang dimaksudkan di atas adalah pengakuan kemiskinan dan kehinaan di hadapan Allah SWT.

Rasulullah besabda: “Ilaqallaha faqiran wa la talqahu ghaniyyan (Bertemulah kepada Allah dalam keadaan fakir, dan janganlah menemuinya dalam keadaan kaya).”

Maksudnya adalah, bertemu kepada Allah dalam keadaan merasa miskin dihadapan-Nya. Karena memang tidak mungkin kita bisa berhadapan langsung dengan Tuhan dengan merasa kaya. Itu artinya ada keangkuhan. Contohnya, lebih bagus mana perut dalam keadaan berpuasa, atau dalam keadaan kekenyangan?

Innalaha yuhibbul faqir al-mutha’affif abbal a’yal (Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang fakir yang menjaga kehormatan diri, yang menjadi bapak keluarga).”
Maksudnya ialah, seorang yang miskin tidak akan mendemonstrasikan kemiskinannya supaya mendapat perhatian dan bantuan dari orang lain.
Rasulullah bersabda: “Orang-orang fakir dari ummatku masuk surga sebelum orang-orang kaya dari mereka, dengan selisih waktu 500 tahun.”

Jadi, orang-orang miskin masuk surga duluan 500 tahun, baru kemudian orang kaya. 500 tahun akhirat itu, satu hari di sana perbandingannya sama dengan 5000 tahun di dunia. Tetapi tentunya kita berhusnudz-dzan, bahwa penantiannya itu bukanlah di neraka, karena akan diperiksa semua kekayaannya lebih teliti lagi.
Jadi, hal ini mungkin sangat penting bagi kita. Marilah kita mencoba memelihara, jangan sampai kita merasa kaya di depan Allah. Ber-tawadhu’lah kita kepada-Nya, karena Allah Maha Tahu.

Merendam Rasa Tersinggung

Oleh : KH. Abdullah Gymnastiar

Salah satu hal yang sering membuat energi kita terkuras adalah timbulnya rasa ketersinggungan diri. Munculnya perasaan ini sering disebabkan oleh ketidaktahanan kita terhadap sikap orang lain. Ketika tersinggung, minimal kita akan sibuk membela diri dan selanjutnya akan memikirkan kejelekan orang lain. Hal yang paling membahayakan dari ketersinggungan adalah habisnya amal kita. Efek yang biasa ditimbulkan oleh rasa tersinggung adalah kemarahan. Jika kita marah, kata-kata jadi tidak terkendali, stress meningkat, dan lainnya. Karena itu, kegigihan kita untuk tidak tersinggung menjadi suatu keharusan. 

Apa yang menyebabkan orang tersinggung? Ketersinggungan seseorang timbul karena menilai dirinya lebih dari kenyataan, merasa pintar, berjasa, saleh, tampan, dan merasa sukses. Setiap kali kita menilai diri lebih dari kenyataan bila ada yang menilai kita kurang sedikit saja akan langsung tersinggung. Peluang tersinggung akan terbuka jika kita salah dalam menilai diri sendiri. Karena itu, ada sesuatu yang harus kita perbaiki, yaitu proporsional menilai diri. Teknik pertama agar kita tidak mudah tersinggung adalah tidak menilai lebih kepada diri kita. Misalnya, jangan banyak mengingat-ingat bahwa saya telah berjasa, saya seorang guru, saya seorang pemimpin, saya ini orang yang sudah berbuat. Semakin banyak kita mengaku-ngaku tentang diri kita, akan membuat kita makin tersinggung. Ada beberapa cara yang cukup efektif untuk meredam ketersinggungan. Pertama, belajar melupakan. Jika kita seorang sarjana maka lupakanlah kesarjanaan kita. Jika kita seorang direktur lupakanlah jabatan itu. Jika kita ustadz lupakan keustadzan kita. 

Jika kita seorang pimpinan lupakanlah hal itu, dan seterusnya. Anggap semuanya ini amanah agar kita tidak tamak terhadap penghargaan. Kita harus melatih diri untuk merasa sekadar hamba Allah yang tidak memiliki apa-apa kecuali ilmu yang dipercikkan oleh Allah sedikit. Kita lebih banyak tidak tahu. Kita tidak mempunyai harta sedikit pun kecuali sepercik titipan Allah. Kita tidak mempunyai jabatan ataupun kedudukan sedikit pun kecuali sepercik yang Allah amanahkan. Dengan sikap seperti ini hidup kita akan lebih ringan. Semakin kita ingin dihargai, dipuji, dan dihormati, akan kian sering kita sakit hati. Kedua, kita harus melihat bahwa apa pun yang dilakukan orang kepada kita akan bermanfaat jika kita dapat menyikapinya dengan tepat. Kita tidak akan pernah rugi dengan perilaku orang kepada kita, jika bisa menyikapinya dengan tepat. 

Kita akan merugi apabila salah menyikapi kejadian, dan sebenarnya kita tidak bisa memaksa orang lain berbuat sesuai dengan keinginan kita. Yang bisa kita lakukan adalah memaksa diri sendiri menyikapi orang lain dengan sikap terbaik kita. Apa pun perkataan orang lain kepada kita, tentu itu terjadi dengan izin Allah. Anggap saja ini episode atau ujian yang harus kita alami untuk menguji keimanan kita. Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji′uun. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al Baqarah: 155-157). Ketiga, kita harus berempati.

Yaitu, mulai melihat sesuatu tidak dari sisi kita. Perhatikan kisah seseorang yang tengah menuntun gajah dari depan dan seorang lagi mengikutinya di belakang Gajah tersebut. Yang di depan berkata, "Oh indah nian pemandangan sepanjang hari". Kontan ia dilempar dari belakang karena dianggap menyindir. Sebab, sepanjang perjalanan, orang yang di belakang hanya melihat pantat gajah. Karena itu, kita harus belajar berempati. Jika tidak ingin mudah tersinggung, cari seribu satu alasan untuk bisa memaklumi orang lain. Namun yang harus diingat, berbagai alasan yang kita buat semata-mata untuk memaklumi, bukan untuk membenarkan kesalahan, sehingga kita dapat mengendalikan diri. Keempat, jadikan penghinaan orang lain kepada kita sebagai ladang peningkatan kwalitas diri dan kesempatan untuk mengamalkan sifat mulia. Yaitu, memaafkan orang yang menyakiti dan membalasnya dengan kebaikan. Wallahu a′lam bish-shawab.