Rabu, 29 September 2010

IKHLAS

"Barang siapa (tujuan amalnya) hanya menghendaki kesenangan dan keindahan dunia, pasti Kami sempurnakan balasannya di dunia, sedikitpun tidak dikurangi. Itulah orang-orang yang tiada balasannya di akhirat, kecuali neraka, lenyaplah semua amal usahanya dan sia-sialah pekerjaannya". (Hud 15-16)

Al Kisah seorang Ulama pergi ke Madinah, dia bertemu dengan Abu Huraerah berada di tengah-tengah kumpulan orang, kemudian dia bertanya kepadanya sesudah kumpulan orang itu bubar, katanya: "Aku minta (demi Allah) anda menceritakan hadits dari Nabi saw. Jawabnya: "Silahkan duduk baik-baik, dengarkanlah hadits yang aku menmperolehnya langsung dari Rasul saw. dan tiada seorangpun bersama kami, lalu bernafas panjang dan pingsanlah ia, kemudian sadar, seraya mengusap wajahnya ia berkata: "dengarkanlah hadits yang aku perolehnya langsung dari
Rasul saw. demikian itu diulang sampai tiga kali, setelah pingsan tiga kali juga, akhirnya ia berkata: "Rasul saw. bersabda: Ketika saatnya tiba Hari Kiamat, Allah memutuskan semua urusan makhluk-Nya, setiapnya tinduk kepada-Nya, yang pertama dipanggil ialah Pembaca Al-Qur'an, lalu ditanyakan kepadanya: "Kamu telah mempelajari apa yang diwahyukan kepada utusanKu? Jawabnya: Ya Tuhan, lalu apa yang kau amalkan di dalamnya? Aku membacanya di malam ataupun siang hari". Kemudian Allah dan para Malaikat-Nya menyanggahnya: "Kamu telah berbohong, karena semua itu sudah terlaksana di dunia".

Yang kedua adalah Hartawan, lalu ditanyakan kepadanya: Harta yang Aku berikan kepadamu, kau buat apa saja? Jawabnya: Kubelanjakan demi menyambung hubungan sanak famili, dan disedekahkan. Lalu disanggah oleh Allah dan para malaikat-Nya: Kamu bohong, karena semua itu kau lakukan, agar kamu disebut dermawan, dan itu sudah terlaksana.
Yang ketiga ialah, orang mati sabil (syahid), lalu ditanyakan kepadanya: Kenapa kamu terbunuh? Jawabnya: berperang fi sabilillah, lalu disanggah oleh Allah dan para malaikat-Nya: Kamu bohong, karena tujuanmu hanya supaya kamu disebut pahlawan yang gagah berani, dan hal semacam itu sudah terlaksana di dunia.
Kata Abu Hurairah : Lalu Rasululloh saw. menepuk lututku seraya bersabda: "Hai Abu Hurairah, ketiga macam manusia itulah yang paling awal disiksa di neraka". Dan ketika Muawiyah mendengarnya, langsung menangis dan berkata: "Sungguh benar Allah dan Rasul-Nya...."

Mencari Ajal

Apabila seseorang mati, manusia sekitarnya akan bertanya: apa yang ditinggalkannya? Tapi para malaikat akan bertanya: apa yang dibawanya?. Demi Alloh, keluarkanlah sebagian (dari harta kalian), kelak ia kan menjadi bekal bagi kalian, dan jangan ditinggalkan seluruhnya, kelak ia akan menjadi beban bagi kalian.

(Imam ali bin Abithalib)


“Mengapa sebagian orang Muslim itu takut mati?” tanya salah seorang dari murid Imam Muhammad bin Ali yang dikenal dengan Al-Jawad.
“Karena mereka tidak tahu apa itu mati,” jawab sang Imam. “Apabila mereka tahu dam benar-benar sebagai kekasih Allah, niscaya mereka akan menyukainya. Karena setiap kekasih Allah akan mencari kekasihnya dan bagi kekasih Allah kehidupan di akhira adalah lebih baik ketimbang kehidupan di dunia.”


Imam Jawad yang sering berbicara dengan kata-kata hikmat ini adalah putra Imam Ali Redha r.a. ayah dianggap oleh sebagian tarikat sufi, Thariqat Naqsyabandiah misalnya, sebagai salah seorang dari Imam besar rohani yang hidup pada abad kedua Hijriah. Imam Jawad sendiri adalah seorang Imam suci yang menghirup ilmu-ilmu makrifat langsung dari ayahnya. Ayah memperoleh semua itu dari para leluhurnya yang terus bersambung sampai kepada datuknya yang tertinggi, yakni Rasululloh saw. Kendati demikian, Imam Jawad kadang-kadang berupaya menyederhanakan masalah-masalah yang rumit kepada para muridnya sehingga mereka mudah memahaminya.

“Coba Anda perhatikan anak-anak kecil dan orang-orang yang tak waras. Bukankah mereka tidak suka makan obat padahal obat sangat berguna untuk menyembuhkan penyakit mereka atau menghilangkan derita-derita mereka,” sambung Imam Jawad. “Itu semata-mata karena mereka tidak tahu manfaat obat tersebut. Demikianlah orang yang takut mati. Karena tidak tahu apa itu mati, mereka menyimpan rasa khawatir kepada.”

“Wahai teman-teman!” sambung sang Imam. “Demi Dzat yang telah mengutus Muhammad sebagai Rasul! Orang yang siap menghadapi mati, kapan pun dan dimana pun juga adalah orang yang telah siap dengan bekal yang cukup. Persiapannya itu jauh lebih bermanfaat dari obat yang sangat mujarab bagi seorang pasien yang sakit. Sungguh apabila mereka tahu besarnya nikmat yang akan mereka peroleh setelah kematian, niscaya mereka akan mencarinya dan mencintainya lebih dari usaha seorang pesakit yang mencari obat untuk kesembuhannnya.”

Ajal atau maut memang sebuah misteri yang sangat menakutkan sebagian orang. Betapa tidak, ia pasti akan datang menjemput, cepat atau lambat, di mana saja dan kapan saja. Ia adalah suatu kemestian yang tak dapat di tawar-tawar. Apabila saatnya tiba, tidak seorang pun yang akan bisa meminta untuk menundanya; atau apabila saatnya belum tiba, tidak seorang pun yang akan bisa meminta untuk disegerakan menjemputnya. Orang yang merasa sudah sangat jemu dengan kehidupan dunia lantaran penderitaan yang terlalu banyak atau problema-problema yang tak terselesaikan tidak akan bisa menghardik ajal apabila tiba-tiba ia datang ke hadapannya. Karena itu, ia adlah sebuah misteri yang tidak akan bisa dipahami sampai kapan pun.

Ada dua kategori maut kata Ibnu ‘Arabi. Pertama, adalah al-Maut al-Idhthirari, mati secara terpaksa’ mati yang tidak dikehendaki oleh tuannya. Meskipun ia tahu bahwa dia tidak dapat mengelak. Mati jenis ini adalah suatu kemestian yang tak dapat ditunda. Bukan hanya manusia, juga seluruh benda hidup yang ada di atas dunia yang fana ini. Kedua, adalah Al-Maut Al-Ihktiyari, mati secara rela, yakni tuannya dengan hati yang rela menyambut kedatangan malaikat maut yang akan menjemputnya.

Kelompok kedua ini adalah kelompok manusia yang mencari ajal, bukan yang dicari oleh ajal. Dia melihat bahwa mati bukan sebagai derita, tetapi sebagai pertemuan antara dua kekasih. Kekasih yang nisbi ingin berjumpa dengan Kekasih Yang Mahamutlak. Untuk berjumpa dengan Yang Mahamutlak, dia siap menempuh apa pun jalan yang mungkin bisa mengantarkannya, kendatipun penuh liku-liku dan kendala-kendala yang besar. Apabila kita mendengar ada sekelompok manusia yang berani mati demi tegaknya agama Allah, itu sebenarnya sebuah isyarat bahwa ia memilih Al-Maut Al-Ikhtiyari. Karena baginya kepentingan Sang Kekasih di atas segala kepentingannya. Kepada kelompok ini Allah memanggil mereka dengan sebutan al-Nafs al-Muthmainah, jiwa-jiwa yang damai. Allah swt. Berfirman dalam kitab suci Alqur’an, “Wahai jiwa-jiwa yang damai, kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan ridha dan diridhai…..” (89:28)

Bagi orang bertipe ini, maut baginya adalah sebuah nikmat. Dan karena ia adalah nikmat, maka secara sadar dia mencarinya dan mendambakan kehadirannya.

Jangan Marah

Saudaraku…, sesungguhnya, mengendalikan amarah adalah salah satu keutamaan akhlak. Ketauhilah bahwa Allah itu menyukai kelembutan, sedangkan marah identik dengan sikap kasar dan emosional.

Sesungguhnya kemarahaan yang tidak terkendali bisa berakibat buruk dan merugikan diri sendiri maupun orang lain. Oleh karena itu ketika diminta nasihat atau wasiat oleh salah seorang sahabatnya, beliau memberikan wasiat untuk tidak marah.
Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah engkau marah. ”Kemudian beliau mengulangi perkataannya beberapa kali, dan bersabda, ”Janganlah engkau marah.” (Riwayat Bukhari)

Diriwayatkan dalam Al-Musnad dari hadist Ibnu Umar, beliau juga pernah bertanya kepada Nabi SAW, ”Apakah yang dapat menjauhkan diriku dari murka Allah?”Janganlah engkau marah.” seorang sahabat bertanya, ”Lalu aku berpikir,dan pada akhirnya aku mendapatkan bahwa kemarahan pusat dari kejahatan.”
Rasulullah SAW juga bersabda:

“Janganlah engkau marah.”Kemudian beliau mengulangi perkataannya beberapa kali,dan bersabda,”Janganlah engkau marah.”(Riwayat Bukhari)

Diriwayatkan dalam Al-Musnad dari hadist Ibnu Umar, beliau juga pernah bertanya kepada Nabi SAW, ”Apakah yang dapat menjauhkan diriku dari murka Allah? ”Janganlah engkau marah.” seorang sahabat bertanya, ”Lalu aku berpikir, dan pada akhirnya aku mendapatkan bahwa kemarahan pusat dari kejahatan.”
Rasulullah SAW juga bersabda:
Tidaklah kekuatan itu dinilai dengan adu kekuatan (gulat). namun yang kuat itu adalah orang yang dapat menguasai dirinya tatkala marah.” (Muttapaq Alaih)

Jadi wahai saudaraku, hadist ini menjelaskan bahwa kekuatan hakiki tidak terletak pada kekuatan otot dan kekuatan badan, namun pada kekuatannya dalam menguasai diri, khususnya dalam mengendalikan marah. Secara tersirat, hadist ini menjelaskan tentang keutamaan bersikap lemah lembut.

MENAHAN AMARAH TANDA ORANG BERTAQWA
Saudaraku…., sesungguhnya Allah menjanjikan ampunan dan surga kepada orang –orang yang bertaqwa. Siapakah orang yang bertaqwa itu? Yaitu mereka yang melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya. Termasuk mereka yang suka menahan marah.
Allah berfirman:
“Dan bersegeralah kalian mencari ampunan dari Tuhanmu, dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langi dan bumi yang disediakan bagi orang –orang yang bertaqwa. (Yaitu) orang yang berinfak, baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amrahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (Ali Imran:133-134)

Allah juga memuji orang-orang yang suka memberi maaf apabila mereka marah.
“Dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf.” (Asy-Syura:37)

Karena itulah Saudaraku, engkau sebagai anak shalih, juga harus bisa menahan amarahmu dan suka memaafkan. Kejahatan tidak harus dibalas dengan kejahatan. Penghinaan tidak harus dibalas dengan penghinaan. Bukan dahulu ketika Rasulullah SAW memulai dakwahnya, beliau juga dihina dan dihujat oleh kaumnya? Namun Rasulullah SAW tetap bersabar, dan ketika islam sudah mengalami kejayaan, beliau pun tidak membalas penghnaan kaumnya yang dulu menghinanya.

CARA MENGHILANGKAN MARAH

Bagaimana cara menghilangkanmarah? Rosulullah memberi beberapa resep yang bisa kita amalkan.
Pertama, bila engkau marah, bacalah ta`awudz (a`udzubillaahiminasysyaithaanirrajiim). Karena, pada hakikatnya persaan marah adalah dorongan setan, dan kita diperintahkan untuk berlindung kepada Allah dari godaan setan. Hal ini dinyatakan dalam hadits berikut, Dua orang saling mengejek di dekat Nabi, lalu salah seorang darinya marah. Nabi nmemandang kepadanya dan berkata, ”Sungguh aku ingin mengajari suatu ucapan yang seandainya ia ucapkan tentu hal itu (kemarahannya) akan hilang darinya Yaitu aku berlindung kepada Allah dari yang terkutuk.” Lalu seorang mendengar (perkataan) Nabi tersebut berdiri menghadap orang tersebut dan berkata, ”Apakah kamu mengerti pertanyaan Rasulullah tadi?” ia menjawab, ”Apakah kamu pandang ini saya gila?”(Riwayat Muslim)

Kedua, bila engkau marah, maka berusalah untuk diam atau tidak banyak berbicara, sebagaimana sabda Nabi, ”Apabila salah seorang di antarakamu marah, maka diamlah.” (Riwayat Ahmad)

ketiga, bila engkau marah dalam keadaan berdiri maka duduklah. Bila duduk masih marah, maka berbaringlah. Karena Nabi bersabda, ”maka apabila salah seorang diantaramu marah dalam keadaan berdiri duduklah, dan apabila keadaan duduk masih marah berbaringlah.”(Riwayat Abu Daud)

Keempat, bila ketiga upaya di atas belum membuahkan hasil, maka berwudhulah, sebagaimana sabda Nabi, ”Sesungguhnya marah itu dari setan, dan setan terbuat dari api dan api hanya bisa dipadamkan oleh air. Oleh karena itu, apabila seorang diantaramu marah, maka berwudhulah.”(Riwayat Abu Daud)

Demikianlah Saudaraku, Bimbingan Rasulullah untuk mengendalikan amarah. Dengan menahan amarah, semoga kita mendapatkan Ridlo-Nya. Amiin.

Obat Hati Yang Keras

Faktor utama mengerasnya hati adalah karena jauhnya kita dari Allah, karena itu kita harus segera mencuci hati kita dengan cara bertaubat kepada Allah, yaitu dengan cara menghiba.

Allah memuji kholilullah Ibrahim A.S yang senantiasa menghiba kepadaNya. “Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang penyantun, penghiba dan suka kembali (bertaubat) kepadaNya.” (Q.S Hud :75).

Tanda-tanda kerasnya hati :
1. Tidak mau menerima nasehat/kebenaran.
Walaupun sudah ditunjukkan dalili2nya dari Al-Qur’an dan Al-Hadist serta penjelasan dari para ulama, ia tetap bersikukuh dengan pendapat madzabnya, gurunya ataupun tradisi masyarakatnya.
2. Tidak bisa menangis atau takut ketika dibacakan ayat2 ancaman, siksa neraka dsb.
3. Takabur, pongah & sombong terhadap kebenaran dan manusia.
4. Lebih senang mengikuti hawa nafsu daripada kebenaran.

Obat keras hati :
1. Memperbanyak dzikrullah
Dzikir akan melembutkan hati yang kasar, menentramkan hati & memancarkan kewibawaan. Q.S Ar-Ra’du 28 : Ingatlah, hanya dengan dzikrullah hati menjadi tentram.
Rasulullah saw bersabda : Perumpamaan orang yang mengingat Allah dengan yang tidak mengingatNya adalah seperti orang yang hidup dan yang mati (HR. Bukhari).

2. Menjauhi maksiat
Abdullah bin Mubarok berkata : Aku melihat dosa2 itu mematikan hati, memperturutkannya merupakan kehinaan, menjauhinya merupakan kehidupan hati.

3. Membaca Al-Qur’an dengan menghayati maknanya (tadabbur).

4. Menghadiri majelis ilmu
Salah seorang ulama salaf berkata : “Hendaklah kalian senantiasa duduk di majelis
para ulama”.
Allah akan menghidupkan hati yang mati (keras) dengan cahaya ilmu sebagaimana
Allah menghidupkan bumi yang tandus dengan air hujan.

5. Membaca kisah-kisah orang sholeh, karena kisah2 mereka bisa dijadikan tauladan.

6. Ziarah kubur
Sabda Rosulullah : Ziarahlah ke kubur, karena ia akan mengingatkanmu pada negeri
akhirat.
(H.R Ahmad, Ibnu Majah).

Kita Hrus Mengenal Diri Kita Sendiri

"Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat baik"

Perihnya lapar dapa ditepis dengan septong roti yang basah jadi, untuk apa aku banyak bersedih dan terus dihantui oleh kecemasan ?

Tanyakan kepada dirimu beberapa pertanyaan di bawah ini dan jawab dengan bijaksana:

1. Tahukah bila engkau akan melakukan perjalanan yang tidak pernah akan kembali lagi? Apakah engkau sudah mempersiapkan bekal yang cukup untuk perjalan itu?

2. Apakah engkau sudah membekali diri dengan amal sheleh sebagai penawar gelidahmu di liang kubur nanti?

3. Berapakah usiamu saat ini?Berapa lama lagi engkau akan hidup? Apakah engkau menyadari bahwa setiap permulaan itu pasti ada akhirnya, dan akhir dari segalanya adalah hanya surga atau neraka?

4. Apakah engkau pernah membayangkan ketika malaikat turun dari langit untuk mencabut ruhmu,dan saat itu engkau dalam keadaan tak sadar?

5. Apakah engkau pernah membayangkan hari itu,saat terakhir dalam hidupmu,ketika engakau berpisah dari keluarga,anak-anak,kekasih
,dan para kerabat? Itulah kematian dengan masa-masa sulit menjelang kedatangannya beserta penderitannya yang begitu sakit untuk dirasakan. Itulah kematian ... itulah kematian!

Setelah ruh terpisah dari jasadmu,engkau akan dimandikan dan kemudian dibungkus dengan kain kafan.orang-orang membawamu menuju masjid untuk dishalatkan.Selanjutnya engkau dipanggul di atas punggung pertama alam akhirat. Bisa jadi kuburan itu merupakan taman di antara teman-taman surga, atau sebuah liang di antara liang-liang neraka.

Bayangan Akhirat Dunia

"Keindahan politik terletak pada sikap adil ketika memimpin dan memberi maaf ketika berkuasa".
Umar bin Abdul Aziz adalah seorang khalifah yang berasal dari keluarga Bani Umawiyyah. Ia dikenal zuhud dan wara’ dalam beragama. Berbeda dengan para leluhurnya yang dikenal angkuh dan suka menghambur-hamburkan harta kekayaan. Meskipun periode pemerintahannya relatif sangat singkat (99-102 H), namun Umar bin Abdul Aziz telah berhasil merombak sejumlah kebijaksanaan yang berkaitan dengan umat Islam dan akidah mereka.

Sejarah mencatat bahwa Umar bin Abdul Aziz-lah yang pertama kali memulai membaca kalimat Innallaha ya’muru bil’adli wal ihsan….(16:90) dalam setiap khotbah jum’atnya, kemudian memerintahkan seluruh khatib untuk membaca ayat serupa pada bagian kedua dari khotbah Jum’at. Hal ini dilakukannya sebagai ganti dari ketentuan Muawiyah yang mewajibkan setiap mimbar jum’at untuk mencaci Ali dan keluarganya sepanjang hampir empat puluh tahunan

Pemerintah Umar bin Abdul Aziz berjalan dengan penuh keadilan. Dia berupaya menghapus sistem nepotisme yang telah dipraktikan oleh Dinasti Umawiyah puluhan tahun. Dia mendistribusikan kekayaan rakyat secara rata. Dia menanggalkan seluruh jubah kebesarannya dan rela mengenakan pakaian yang sangat sederhana. Dia menderita karena penderitaan rakyat dan memilih untuk puasa daripada melahap fasilitas-fsilitas kerajaan yang diberikan kepadanya. Dia melihat kekuasaan sebagai sebuah amanat bukan sebuah nikmat. Karena amanat, ia harus ditunaikan dengan sempurna. Mengabaikannya bisa berarti khianat kepada hati nurani, kepada rakyat, apalagi kepada Allah.

Suatu hari hamba sahaya perempuannya pernah berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, semalam aku bermimpi tentang sesuatu yang sangat mengharukan.”
“Mimpi apa itu?” tanya sang Khalifah.
“Aku bermimpi tentang hari kiamat. Saat itu semua manusia dibangkitkan oleh Allah; timbangan hisab telah disiapkan dan titian shiratal-mustaqiem juga telah dibentangkan.”

Mendengar tentang shiratal mustaqim atau titian mustaqim yang kelak akan dilewati setiap orang, terbayang dalam benak Umar bin Abdul Aziz akan hadits yang menyatakan bahwa kelak manusia yang akan melewatinya terbagi ke dalam beberapa kelas. Ada kelompok manusia yang sangat cepat dapat melewatinya laksana kilat, ada yang dapat melewatinya secepat lari kuda, ada yang melewatinya dengan merangkak, bahkan ada yang sampaik jatuh bangun. Umar bin Abdul Aziz tahu bahwa aneka ragam manusia yang melewati shirat sebenarnya adalah refleksi dari amal dan kepatuhan mereka kepada Allah di dunia ini. Mereka yang jatuh bangun dalam beramal saleh di dunia. Orang yang merangkak di shirat adalah mereka yang “merangkak” dalam beramal saleh di dunia. Orang yang melewati shirat laksana kilat adalah mereka yang tergolong dalam kelompok orang-orang yang segera menunaikan perintah Allah tanpa pernah menundanya.

“Teruskan cerita mimpimu!” kata Umar bin Abdul Aziz kepada hamba ini

“Kulihat diantara orang pertama yang dihadapkan untuk dihisab adalah Abdul Malik bin Marwan (Penguasa Bani Umaiyah dari tahun 65-86 H)” sambungnya. “Aku melihat para malaikat berkata kepadanya, “Wahai Abdul Malik, jalanlah di atas shiratal-mustaqim ini”.

Kemudian Abdul Malik bin Marwan mulai meletakkan kakinya ingin melangkah. Baru saja ia berjalan selangkah atau dua langkah tiba-tiba ia jatuh ke dalam jurang api neraka. Kudengar suara pekik dan tangisnya mohon ampunan. Tetapi, hari itu adalah hari hisab tanpa bisa beramal, seperti dunia adalah hari amal tanpa hisab.

Berikutnya datang pula putranya, Walid bin Abdul Malik bin Marwan. Para malaikat itu juga berkata kepadanya “Wahai Walid, berjalanlah lewat shiratal mustaqim,” seperti ayahnya, ketika Walid hendak melangkahkan kakinya di atas titian, tiba-tiba ia pun tergelincir dan jatuh ke dalamnya. Begitulah yang terjadi terhadap sejumlah khalifah-khalifal lain.”

Umar bin Abdul Aziz tidak dapat membendung air matanya yang terus mengalir. Dia tahu betul bahwa tanggung jawab seorang Khalifah dan penguasa tidak sama dengan tanggung jawab rakyat biasa. Apabila seorang penguasa bersikap adil, dia akan memperoleh kedudukan yang sangat tinggi di surga. Tetapi, apabila tidak, neraka waylah-lah tempat kembalinya.

“Lalu tibalah giliranmu wahai Amiriul Mukmini.” Kata si hamba secara perlahan.

Sampai di sini tiba-tiba Uamr bin Abdul Aziz berteriak histeris. Tangisnya semakin kuat. Badannya gemetar. Jiwanya kecut. Mukanya pucat. Hatinya seperti luluh lantah dan teriris-iris mengingat hari yang maha dahsyat itu. Teringat dalam benaknya keangkeran api neraka seperti yang dikatakan oleh Allah dalam Kitab-Nya. “(Ingatlah) pada hari mereka diseret ke neraka atas muka mereka. (Dikatakan kepada mereka): rasakanlah sentuhan api neraka” (54:48) Umar memukul-mukuli kepalanya dan hampir-hampir pingsan. Wanita itu bingung. Dia tidak menduga bahwa tuannya akan menderita sedemikian rupa lantaran mendengar ceritanya. Dia berusaha menenangkan tuannya, tetapi tidak berasil. Akhirnya, dengan suara yang agak keras dia berkata, “Wahai Amirul Mukminin, demi Allah aku melihat engkau berhasil melewati shiratal-mustaqim. Engkau dapat sampai ke surga dengan selamat.

Seketika itu juga Umar bin Abdul Aziz reda dan diam kembali. Tetapi, dia tidak bisa bicara. Untuk selanjutnya dia bersikap lebih hati-hati dalam memikul amanat Allah yang mahaberat itu.

Pendakian Menuju Allah SWT

Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan . (QS. 90:10)
Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. (QS. 90:11)
Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (QS. 90:12)

Semua orang menyadari bahwa hidup di dunia adalah ibarat perjalanan yang panjang menuju Allah. Karena Allah-lah akhir dari tujuan hidup kita. Dan untuk itu Allah telah memberikan kita jalan, melalui Cahaya-cahaya-Nya. Diantara Cahaya-Nya adalah Al-Quran -dialah An-Nur-, Rasulullah SAW- dialah Sirajan-munira (pelita yang menerangi)-, Ahlul bait Nabi- yang laksana bintang, para Sahabat, Para Ulama, Para Syuhada, para Shalihin. Dan juga cahaya di dalam diri kita indera, perasaan, akal, dan Hati nurani. Cahaya di atas cahaya...

Kendati demikian, kita tetap merasa bahwa jalan menuju cahaya adalah jalan yang sulit dan mendaki. Tidak secara fisik, tetapi juga mental dan pikiran. Karena kita temui banyaknya rintangan, perbedaan, pertentangan di jalan ini yang tiada habis.
Inilah justru ujian dari Allah SWT. Karena Allah sendiri yang mengatakan bahwa jalan-Nya bukanlah jalan yang mudah, bukan jalan ringan, tetapi jalan yang mendaki lagi sukar. Sebagaimana ayat di atas dan juga ayat di bawah.

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar. (QS. 3:142)
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah". Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (QS. 2:214)

Karenanya tidaklah perlu kita merasa lelah dan capai dalam meniti jalan menuju-Nya, baik secara fikiran, rasa dan tenaga. Ketika kita belajar mencari ilmu-Nya, janganlah sekali-kali kita merasa telah merasa yang benar. Justru ketika kita merasa sudah benar mutlak, inilah puncak kesalahan kita. Karena kita akan merasa cukup (istighna) dengan ilmu kita, dengan pendapat kita. Ketika kita berusaha ber amal kita, marilah kita teguh terus menambah amal kita, tanpa pernah merasa cukup dan lebih baik dari orang lain. Perasaan sudah cukup (istighna) adalah salah satu hambatan kita mendaki menuju-Nya. Dengan perasaan ini, kita akan memandang rendah orang lain, enggan menerima perbedaan, pendapat orang...Gampang menilai orang lain, merendahkan orang lain...

Suatu ketika Imam Ali kw, ditanya sahabatnya, "Apakah tangga pertama dari mengenal Allah?". Beliau menjawab, "Adalah ketika engkau merasa bahwa tidak ada orang yang lebih banyak kesalahannya daripada engkau". Orang itu pingsan. Kemudian ketika sadar, dia bertanya lagi, "Sesudah itu ada tangga lagi". Beliau menjawab, "Ada 70 tangga lagi".

Karena para salikin (artinya orang berjalan) atau kaum sufi sering menyebut dirinya "Al-Faqir", maksudnya bukan orang miskin... tetapi orang yang merasa butuh, masih kurang akan petunuk Allah, akan ilmu,akan amal... Lawannya ya istighna itu, merasa cukup, merasa paling benar...

Jalur apa pun yang kita pilih untuk beragama adalah jalan yang mendaki, lagi sulit... Yang tidak pernah akan selesai, kecuali ajal menjelang...Inilah menurut saya hikmah kita berulang-ulang membaca "Ihdina Shirathal Mustaqim"... Agar kita selalu dituntuk untuk semakin dekat menuju-Nya.

Dalam buku Adversity Quotient/AQ (Kecerdasan ketegaran), ada 3 tingkat AQ, yaitu:
  1. Quitters (orang yang keluar, lepas). Tidak mau berusaha atau berbuat karena melihat kesulitan.
  2. Campers (orang merasa puas). Orang yang merasa sudah berusaha dan mendapatkan hasil, tapi ia merasa sudah cukup (istighna) dan enggan untuk meneruskan perjalanan.
  3. Climbers (Pendaki). Adalah orang yang selalu berusaha mendaki, melanjutkan perjalanan, pendakian.

Semoga kita menjadi Climbers, orang yang selalu mendaki, mencari, memperbaiki diri... Biarlah Allah yang akan membimbing kita menuju jalan yang mana....

"Dan bagiorang-orang bersungguh-sungguh menuju Kami, sungguh Kami akan tunjukkan jalan-jalan Kami" (Al-Ankabut).

Menariknya Allah memakai "jalan-jalan" (subul) bukannya jalan. Jadi, meskipun pendakian menuju Allah adalah jalan mendaki, namun Allah menyediakan banyak sekali jalan.

Wallahul muwafiq ilaa aqwamith thariq.

Teri Cermin Imam Al-Ghozali

Bagaimanapun roh atau sukma akan kembali kepada Tuhan. Dalam kenyataannya, mengapa manusia seringkali lalai dan lupa kepada Tuhan dan detik-detik kehadirannya di dunia ini justru lebih banyak tersita untuk hal-hal yang bersifat jasadi atau lahiriah belaka?

Imam Ghazali menjawab masalah ini dengan Teori Cermin (al-Mir'ah) dalam karyanya yang sangat terkenal itu --Ihya' 'ulum al-Din. Menurut Imam Ghazali, hati manusia ibarat cermin, sedangkan petunjuk Tuhan bagaikan nur atau cahaya. Dengan demikian jika hati manusia benar-benar bersih niscaya ia akan bisa menangkap cahaya petunjuk Ilahi dan memantulkan cahaya tersebut ke sekitarnya

Sedangkan jika manusia tidak mampu menangkap sinyal-sinyal spiritual dari Tuhan, itu pada dasarnya disebabkan tiga kemungkinan.

  • Pertama, cerminnya terlalu kotor sehingga cahaya Ilahi yang seterang apapun tidak dapat ditangkap dengan cermin rohani yang dimilikinya. Yang termasuk dalam kategori ini adalah mereka yang dilumuri dengan perbuatan-perbuatan kotor dan aniaya.
  • Kedua, di antara cermin dan sumber cahaya terdapat penghalang yang tidak memungkinkan cahaya Ilahi menerpa cermin tersebut. Yang termasuk dalam kategori ini, orang-orang yang menjadikan harta, tahta dan kesenangan lahir sebagai orientasi hidupnya.
  • Ketiga, cermin tersebut memang membelakangi sumber cahaya hingga memang tak dapat diharapkan dapat tersentuh oleh cahaya petunjuk Ilahi. Contoh yang sangat tepat untuk kategori ini orang-orang kafir yang dengan sadar mengingkari keberadaan Tuhan.

Agar hati manusia selalu dapat menjadi cermin yang bening, ia harus senantiasa berusaha memurnikan diri dengan jalan menguasai nafsu-nafsu rendah serta mengikuti perjalanan hidup para nabi melalui berbagai latihan kerohanian (riyadlah). Inilah yang menerangkan mengapa di lingkungan pesantren dan di kalangan para penganut tarekat, riyadlah atau latihan kerohanian dalam berbagai bentuk amalan sunnah --salat sunnah, puasa Senin, Kamis, puasa Nabi Daud, dan lebih-lebih usaha senantiasa mempertautkan diri dengan Allah melalui dzikirmerupakan hal yang sangat sentral dalam kehidupan sehari-harimereka.

Melaksanakan secara intensif berbagai amalan sunnah tersebut tak lain merupakan usaha mengamalkan sebuah hadits Qudsi sebagai berikut:

"Kepada orang yang memusuhi Wali-Ku, akan Kunyatakan perang. Ibadat yang paling mendekatkan Hamba-Ku, sehingga Aku sayang kepadanya adalah menunaikan semua perintah yang telah Aku berikan. Hamba-Ku adalah mereka yang mendekatkan dirinya kepada-Ku dan melakukan pula hal-hal sunnah yang Aku cintai. Apabila Aku telah mencintainya, maka Aku-lah yang menjadi telinganya yang dipakai untuk mendengar. Aku-lah matanya untuk melihat, Aku-lah tangannya untuk bekerja, dan Aku-lah kakinya untuk berjalan. Apabila dia meminta kepada-Ku akan Aku beri, dan apabila ia meminta perlindungan akan Aku beri. " (Riwayat Bukhari dan Abi Hurairah)

Apabila seseorang telah melaksanakan berbagai ibadah secara intensif, hal itu dalam pandangan kesufian tidak secara otomatis merupakan jaminan bahwa orang tersebut akan sampai pada tujuan hakiki dari ibadah yakni terjalinnya hubungan konstan dengan Allah. Ibadah ritual akan jatuh nilainya menjadi seremonial tanpa isi jika ibadah tersebut dilaksanakan tanpa sikap batin yang dipimpin semata-mata oleh harapan memperoleh ridha Allah.

Sebaliknya sikap batin yang tidak diaktualisasikan dalam bentuk pelaksanann ibadah sebagaimana yang dituntunkan syariat dan dicontohkan oleh Nabi, dipandang sebagai kesombongan spiritual, yang menjurus kapada zindiq (penyelewengan). Dalamkaitan ini Imam Malik, salah seorang pendiri mazhab fiqih yang terkenal, mengatakan bahwa siapa yang bertasawuf tanpa mengamalkan fiqh, ia zindiq dan siapa yang mengamalkan fiqh tanpa bertasawuf, ia fasiq (tak bermoral).

Agar ibadah ritual benar-benar dapat bermakna dan tak jatuh ke nilai seremonial yang tanpa isi, maka di kalangan kaum sufi ibadah ritual selalu dibarengi bahkan didahului oleh penggeledahan dan interogasi diri:
Apakah ibadah yang kita lakukan sudah benar-benar karena Allah dan bukannya karena yang lain?


sumber dari http://soni69.tripod.com/

Kenapa Amalan di Terim

Kalau bukan karena indahnya tutupnya Allah swt, maka tak satu pun amal diterima.”Kenapa demikian? Sebab nafsu manusia senantiasa kontra dengan kebajikan, oleh sebab itu jika mempekerjakan nafsu, haruslah dikekang dari sifat atau karakter aslinya.
Dalam firmanNya: “Siapa yang yang menjaga nafsunya, maka mereka itulah orang-orang yang menang dan bahagia.”(Al-Hasyr 9)


Nafsu, ketika masuk dalam kinerja amaliah, sedangkan nafsu itu dasarnya adalah cacat, maka yang terproduksi nafsu dalam beramal senantiasa cacat pula. Kalau toh dinilai sempurna, nafsu masih terus meminta imbal balik, dan menginginkan tujuan tertentu, sedangkan amal itu inginnya malah ikhlas. Jadi seandainya sebuah amal diterima semata-mata bukan karena amal ansikh, tetapi karena karunia Allah Ta’ala pada hambaNya, bukan karena amalnya.

Abu Abdullah al-Qurasyi ra mengatakan, “Seandainya Allah menuntu ikhlas, maka semua amal mereka sirna. Bila amal mereka sirna, rasa butuhnya kepada Allah Ta’ala semakin bertambah, lalu mereka pun melakukan pembebasan dari segala hal selain Allah swt, apakah berupa kepentingan mereka atau sesuatu yang diinginkan mereka.”

Oleh sebab itu Ibnu Athaillah melanjutkan:
“Anda lebih butuh belas kasihan Allah swt, ketika anda sedang melakukian taat, dibanding rasa butuh belas kasihNya ketika anda melakukan maksiat.” Kebanyakan manusia memohon belas kasihan kepada Allah Ta’ala justru ketika ia menghadapi maksiat, dan merasa aman ketika bisa melakukan taat ubudiyah. Padahal justru yang lebih dibutuhkan manusia adalah Belas Kasih Allah ketika sedang taat. Karena ketika sedang taat, para hamba sangat rawan “taat nafsu”, akhirnya seseorang terjebak dalam ghurur, atau tipudaya dibalik amaliyahnya sendiri.

Rasulullah saw, bersabda:
“Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada salah seorang Nabi dari para NabiNya: “Katakanlah kepada hamba-hambaKu yang tergolong shiddiqun, jangan sampai mereka tertimpa  tipudaya. Sebab Aku, bila menegakkan keadilanKu dan kepastian hukumKu kepada mereka, Aku akan menyiksa mereka, tanpa sedikit pun aku menzalimi mereka. Dan katakanlah kepada hambaKu yang ahli dosa, janganlah mereka berputus asa, sebab tak ada dosa besar bagiKu manakala Aku mengampuninya.”

Bahkan Abu Yazid al-bisthami ra mengatakan: “Taubat dari maksiat bisa sekali selesai, tetapi taubat karena taat bisa seribu kali pertaubatan.”
Mengapa kita harus lebih waspada munculnya dosa dibalik taat? Karena nafsu dibalik maksiat itu jelas arahnya, namun nafsu dibalik taat sangat lembut dan tersembunyi.
Diantara nafsu dibalik taat yang menimbulkan dosa dan hijab antara lain:
1. Mengandalkan amal ibadahnya, lupa kepada Sang Pencipta amal.
2. Bangga atas prestasi amalnya, lupa bahwa yang menggerakkan amal itu bukan dirinya, tetapi Allah swt.
3. Selalu mengungkit ganti rugi, dan banyak tuntutan dibalik amalnya.
4. Mencari keistemewaan amal, hikmah dibalik amal, lupa pada tujuan amalnya.
5. Merasa lebih baik dan lebih hebat dibanding orang yang belum melakukan amaliyah seperti dirinya.
6. Seseorang akan kehilangan kehambaannya, karena merasa paling banyak amalnya.
7. Iblis La’natullah terjebak dalam tipudayanya sendiri, karena merasa paling hebat amal ibadahnya.
8. Menjadi sombong, karena ia berbeda dengan umunya orang.
9. Yang diinginkan adalah karomah-karomah amal.
10. Ketika amalnya diotolak ia merasa amalnya diterima.

sumber : sufinews.com

Siapa Sahabat Sejati Sebenarnya.

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary.

“Tak ada sahabat sejatimu kecuali dia yang paling tahu aibmu, dan tidak ada (sahabat seperti itu) kecuali Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Sebaik-baik sahabatmu adalah yang  menuntutmu, tetapi sama sekali tuntutan itu tidak ada kepentingannya darimu untuk-nya.”


Tak ada yang lebih tahu aib kita secara detil dan rinci melainkan Allah swt, karena Dia-lah yang tak pernah meninggalkan anda ketika anda dalam kondisi hina dan tidak menolak anda ketika anda dalam kondisi sangat kurang, bahkan senantiasa mengasihi anda dalam situasi apa pun.
Pada saat begitu Dia memerintahkan anda dan melarang anda, namun anda maksiat pada-Nya, namun Dia tidak meninggalkan anda, bahkan dengan rasa belas kasih-Nya Dia memanggilmu untuk datang kepada-Nya di saat anda alpa.

Namun jika yang tahu aib anda secara detil itu adalah makhluk, maka para makhluk pun justru meninggalkan anda dan melempari anda atas perbuatan anda selama ini. Namun Allah Swt dengan segala cinta dan kasih sayang-Nya senantiasa malah menjaga anda. Namun yang menyadari itu sangat sedikit.
Allah Swt tidak pernah meminta imbal balik kita dibalik perlindungan, perintah, tuntutan dan larangan-Nya. Sedangkan pergaulan dan persahabatan dengan makhluk penuh dengan tuntutan dan kepentingan. Maka sahabat sejati sesungguhnya  yang menyadarkan kepentingan yang kembali pada diri kita, hal-hal yang berguna maupun hal-hal mana yang berbahaya.

Namun rasa yaqin yang rendah dan lemah membuat anda terhijab dari semua itu. Karena itu Ibnu Athaillah melanjutkan:
“Seandainya cahaya yaqin memancar, pasti anda melihat akhirat lebih dekat padamu dibanding anda menempuhnya. Dan sungguh anda memandang keindahan dunia tak lebih dari reruntuhan fana yang tampak padanya.”

Dunia hanyalah khayal dalam wujudnya, apabila anda benar-benar tercerahi oleh cahaya yaqin.
Ahmad bin Ashim al-Anthaky ra menegaskan, “Yaqin adalah nur yang dijadikan Allah swt dalam hati hamba-Nya, hingga ia melihat perkara akhiratnya dan cahaya itu membakar semua hijab antara Dia dan dirinya, sampai akhirat tampak begitu jelas dalam perspektifnya.”

Suatu hari Rasulullah Saw, bertanya kepada Haritsah ra,  “Apa kabarmu pagi ini wahai Haritsah?”
“Saya dalam kondisi beriman yang benar,” jawab Haritsah.
Rasulullah saw, bersabda, “Setiap kebenaran ada hakikatnya, lalu apa hakikat imanmu?”
“Seakan-akan saya berada di Arasy Tuhanku benar-benar ditegakkan dan saya melihat ahli syurga sedang menikmati nikmat-nikmat-Nya di syurga dan ahli neraka sedang saling minta pertolongan,” kata Haritsah.
Rasulullah saw, bersabda, “Kamu sedang mengenal maka teguhlah. Seorang hamba yang qalbunya dicerahi cahaya oleh Allah….” (Al-Hadits).

Rasulullah saw, pernah bersabda, “Bila  cahaya masuk dalam hati, maka hati akan lapang…”
Rasul saw, ditanya, “Wahai Rasulullah apakah ada tanda untuk mengenal itu?”
Beliau menjawab, “Merasa kosong di negeri tipudaya dan kembali pada negeri keabadian, serta mempersiapkan bekal mati sebelum waktunya tiba…”

sumber  : www.SufiNews.com

Selasa, 28 September 2010

Amal tanpa ke Ikhlasan tidak ada artinya.

Syeikh Abdul Qadir Al-Jilany - Pengajian Syeikh Abdul Qadir al-Jilany, hari Selasa bulan Sya’ban tahun 545 H di Madrasahnya

Belajarlah, lalu amalkan, dan ikhlaslah dalam beramal, hingga anda bisa tajrid (menepiskan) makhluk dari hatimu.  “Katakankan: “Allah”. Lalu tinggalkan mereka dalam kesesatanannya mereka bermain.” (Al-An’aam: 91)
Seperti ungkapan Nabi Ibrahim as:
“Sesunggunya mereka itu musuh bagiku, kecuali Tuhan semesta alam.” (Asy-Syu’ara’: 77)

Hindari makhluk (dari hatimu) dan singkirkan mereka sepanjang mereka membuatmu berbahaya. Bila tauhidmu sudah benar dan kotoran syirik keluar dari hatimu, baru anda bergaul dengan mereka dan memberikan manfaat pada mereka melalui pengetahuan dan petunjuk menuju Pintu Tuhan mereka Azza wa-Jalla.

“Kematian” diri seorang Ulama’ Khos adalah mati dari totalitas makhluk Allah, yaitu kematian hasrat dan ikhtiarnya sendiri. Jika seseorang benar dalam kematian ini, benar pula hidupnya yang abadi bersama Allah Azza wa-Jalla. Maka pada saat itlah anda merasakan betapa kematian lahiriyah hanya sejenak belaka, seperti ketaksadaran dalam tidur, lalu bangun.

Bila anda ingin meraih kematian ini,  anda harus meraih  inti ma’rifat dan taqarrub serta tidur di hamparan Al-Haq Azza wa-Jalla, hingga dirimu diraih oleh Tangan Rahmat dan Anugerah, lalu anda hidup dalam keabadian. Karena nafsu butuh makanan, qalbu juga butuh makanan, begitu pula rahasia qalbu juga butuh makanan. Di sinilah Nabi saw, bersabda:
“Aku sebenarnya berlindung pada Tuhanku, lalu Dia memberi makan dan minum kepadaku.” (Hr Ahmad)

Yakni makanan rahasia maknawi, yang dimakan oleh ruhku yang ruhani, lalu Dia memberi konsumsi dengan makanan yang spesial padaku.

Pada awalnya  menanjak dengan lahiriyahnya dan qalbunya, setelah itu lahiriyahnya terhadang dan hatinya yang menanjak serta rahasia hatinya, baru beliau hadir di tengah publik manusia. Begitu pula para pewaris Nabi saw,  yang secara hakiki memadukan antara ilmu, amal, keikhlasan dan pendidikan terhadap makhluk.
Wahai kaum Sufi, makanlah dan minumlah dari sisa-sisa mereka…! Wahai orang yang mengaku berpengetahuan. Apa artinya pengetahuan tanpa amaliah, dan apa artinya amal tanpa keikhlasan, karena amal tanpa ikhlas ibarat jasad tanpa ruh.



Lepas telanjang hanya di hati bukan di fisik. Zuhud itu bagi hati, bukan jasad. Berpaling itu hanya pada batin, bukan pada dzohir. Memandang itu pada makna-maknanya bukan pada kerangkanya. Memandnag itu pada Al-Haq Azza wa-Jalla, bukan pada makhluk.  Yang urgen adalah bagaimana anda bersama Allah bukan bersama makhluk. Maka akhirat dan dunia sirna, lalu tanpa dunia dan tanpa akhirat. Tak ada selain Dia Azza wa-Jalla.

Maka, para pecinta menikmati kecintaannya bersama Allah Azza wa-Jalla, mereka adalah kalangan terpilih dari makhlukNya, disebabkan cobaan yang menimpa mereka secara fisik. Orang-orang syuhada’ adalah orang yang mati berperang akibat pedang orang kafir, dimana cobaan fisik menimpa mereka. Bagaimana dengan Syuhada’ yang mati karena pedang-pedang cinta?

Melepaskan Belenggu Dunia.

Pengajian Syeikh Abdul Qadir Al-Jilany
Hari Ahad Pagi tanggal 20 Sya’ban tahun 545 H, di Pesantrennya.

Hai orang bodoh! Tinggalkan catatanmu, kemarilah dan duduk patuh di depanku.
Ilmu itu muncul dari bibir para Tokoh-tokoh Ilahi, bukan dari catatan buku, diraih dari sumber ruhani bukan dari  wacana, diambil dari mereka yang fana’ dari dirinya dan dari makhluk, Baqo’ bersama Allah Azza wa-Jalla.
Lingkaran hakikat itu  tergantung fana’ anda dari diri anda dan makhluk lainnya, kemudian berada pada wujud anda bersama-Nya. Matilah dari yang lain-Nya, lalu hiduplah bersama-Nya dan bagi-Nya.
Bergaullah dengan para pelayan Allah Azza wa-Jalla, mereka yang terus menerus di pintu-Nya. Kesibukan mereka hanyalah melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, berserasi dengan takdir-Nya, senantiasa beraktivitas bersama kehendak-Nya dan tindakan-Nya atas mereka.
Mereka tidak pernah kontra atas kehendak-Nya pada mereka begitu pula pada yang lain. Mereka tidak menentang apa yang didapatkan dari-Nya baik sedikit maupun banyak, baik bernilai tinggi maupun rendah.
Karena janganlah anda sibuk berorientasi pada  tujuan nafsu anda ketika anda sedang sibuk dengan Allah azza wa-Jalla.

Para wali-wali Allah Azza wa-Jalla senantiasa bertugas  memotivasi makhluk lain namun sama sekali tidak punya kepentingan dengan mereka, namun semata karena Ilham Allah pada mereka sebagai wujud rahmat bagi makhluk, sama sekali tidak punya keinginan menuntut balas dari makhluk untuk dirinya. Karena dirinya tenteram bersama-Nya, tak tersisa nafsu kesenangan dan hasrat yang berkaitan dengan dunia.
Anda menyangka dirinya seperti diri anda yang bodoh yang telah anda habiskan untuk berbakti pada dunia, memenuhi seleranya dan kesenangannya. Kalau saja akal anda sehat, pasti anda akan berpaling dari dunia, dan anda lebih sibuk dengan aktivitas Sang Pencipta dunia.

Yang benar anda diam atas jawaban-jawaban atau ajakan dunia dan anda merobohkan ucapan-ucapan dunia yang menghalangi anda. Dengarkan saja dunia itu seperti anda mendengarkan ocehan orang gila yang hilang akalnya. Jangan peduli dengan ucapannya dan ambisinya memburu kesenangan, kenikmatan dan kesantaian. Kehancuranmu dan hancurnya dunia karena anda menerima permintaan-permintaannya. Sedangkan kebaikan dirimu dan dunia, terletak pada kontramu pada dunia.

Nafsu itu apabila bisa patuh kepada Allah Azza wa-Jalla, rizkinya akan didatangkan dari berbagai penjuru. Bila ia maksiat dan ingkar, maka putuslah faktor-faktor rizkinya lalu ia terbebani oleh penderitaan, hingga ia bangkrut dunia akhirat.

Orang yang taat dan patuh pada Allah Azza wa-Jalla, senantiasa akan dilayani, kemana pun ia berada senantiasa  menemukan bagian dari ridho kepada-Nya dan ia melaksanakan kewajiban tanpa beban sedikit pun, dengan senang hati tanpa terpaksa. Karena itu kosongkan hati dari segala hal selain Allah Azza wa-Jalla, sedangkan fisik tenang jauh dari sibuk berburu dunia dan laba keuntungannya.

Hai orang yang dilimpahi nikmat, bersyukurlah atas nikmat-Nya, jika tidak nikmat akan hilang dari tanganmu. Ikatlah sayap nikmat dengan syukur, bila tidak, ia akan terbang darimu. Orang mati adalah orang yang mati pada Tuhannya Azza wa-Jalla walau ia hidup di dunia.

sumber : SufiNew.com