Rabu, 06 Oktober 2010

24 kalimat penyejuk hati

1. Jangan tertarik kepada seseorang karena parasnya, sebab keelokan paras dapat menyesatkan. Jangan pula tertarik kepada kekayaannya, karena kekayaan dapat musnah. Tertariklah kepada seseorang yang dapat membuatmu tersenyum, karena hanya senyum yang dapat membuat hari-hari yang gelap menjadi cerah. Semoga kamu menemukan orang seperti itu.

2. Ada saat-saat dalam hidup ketika kamu sangat merindukan seseorang, sehingga ingin hati menjemputnya dari alam mimpi dan memeluknya dalam alam nyata. Semoga kamu memimpikan orang seperti itu.

3. Bermimpilah tentang apa yang ingin kamu impikan, pergilah ke tempat-tempat kamu ingin pergi, jadilah seperti yang kamu inginkan, karena kamu hanya memiliki satu kehidupan dan satu kesempatan untuk melakukan hal-hal yang ingin kamu lakukan.

4. Semoga kamu mendapatkan kebahagiaan yang cukup untuk membuatmu baik hati, cobaan yang cukup untuk membuatmu kuat, kesedihan yang cukup untuk membuatmu manusiawi, pengharapan yang cukup untuk membuatmu bahagia dan uang yang cukup untuk membeli hadiah-hadiah.

5. Ketika satu pintu kebahagiaan tertutup, pintu yang lain dibukakan. Tetapi acapkali kita terpaku terlalu lama pada pintu yang tertutup sehingga tidak melihat pintu lain yang dibukakan bagi kita.

6. Sahabat terbaik adalah dia yang dapat duduk berayun-ayun di beranda bersamamu, tanpa mengucapkan sepatah katapun, dan kemudian kamu meninggalkannya dengan perasaan telah bercakap-cakap lama dengannya.

7. Sungguh benar bahwa kita tidak tahu apa yang kita milik sampai kita kehilangannya, tetapi sungguh benar pula bahwa kita tidak tahu apa yang belum pernah kita miliki sampai kita mendapatkannya.

8. Pandanglah segala sesuatu dari kacamata orang lain. Apabila hal itu menyakitkan hatimu, sangat mungkin hal itu menyakitkan hati orang itu pula.

9. Kata-kata yang diucapkan sembarangan dapat menyulut perselisihan. Kata-kata yang kejam dapat menghancurkan suatu kehidupan. Kata-kata yang diucapkan pada tempatnya dapat meredakan ketegangan. Kata-kata yang penuh cinta dapat menyembuhkan dan memberkahi.

10. Awal dari cinta adalah membiarkan orang yang kita cinta menjadi dirinya sendiri, dan tidak merubahnya menjadi gambaran yang kita inginkan. Jika tidak, kita hanya mencintai pantulan diri sendiri yang kita temukan di dalam dia.

11. Orang-orang yang paling berbahagia tidak selalu memiliki hal-hal terbaik, mereka hanya berusaha menjadikan yang terbaik dari setiap hal yang hadir dalam hidupnya.

12. Mungkin Tuhan menginginkan kita bertemu dengan beberapa orang yang salah sebelum bertemu dengan orang yang tepat, kita harus mengerti bagaimana berterima kasih atas karunia itu.

13. Hanya diperlukan waktu semenit untuk menaksir seseorang, sejam untuk menyukai seseorang dan sehari untuk mencintai seseorang tetapi diperlukan waktu seumur hidup untuk melupakan seseorang.

14. Kebahagiaan tersedia bagi mereka yang menangis, mereka yang disakiti hatinya, mereka yang mencari dan mereka yang mencoba. Karena hanya mereka itulah yang menghargai pentingnya orang-orang yang pernah hadir dalam hidup mereka.

15. Cinta adalah jika kamu kehilangan rasa, gairah, romantika dan masih tetap peduli padanya.

16. Hal yang menyedihkan dalam hidup adalah ketika kamu bertemu seseorang yang sangat berarti bagimu dan mendapati pada akhirnya bahwa tidak demikian adanya dan kamu harus melepaskannya.

17. Cinta dimulai dengan sebuah senyuman, bertumbuh dengan sebuah ciuman dan berakhir dengan tetesan air mata.

18. Cinta datang kepada mereka yang masih berharap sekalipun pernah dikecewakan, kepada mereka yang masih percaya sekalipun pernah dikhianati, kepada mereka yang masih mencintai sekalipun pernah disakiti hatinya.

19. Sungguh menyakitkan mencintai seseorang yang tidak mencintaimu, tetapi yang lebih menyakitkan adalah mencintai seseorang dan tidak pernah memiliki keberanian untuk mengutarakan cintamu kepadanya.

20. Masa depan yang cerah selalu tergantung kepada masa lalu yang dilupakan, kamu tidak dapat hidup terus dengan baik jika kamu tidak melupakan kegagalan dan sakit hati di masa lalu.

21. Jangan pernah mengucapkan selamat tinggal jika kamu masih mau mencoba, jangan pernah menyerah jika kamu masih merasa sanggup jangan pernah mengatakan kamu tidak mencintainya lagi jika kamu masih tidak dapat melupakannya.

22. Memberikan seluruh cintamu kepada seseorang bukanlah jaminan dia akan membalas cintamu! Jangan mengharapkan balasan cinta, tunggulah sampai cinta berkembang di hatinya, tetapi jika tidak, berbahagialah karena cinta tumbuh di hatimu.

23. Ada hal-hal yang sangat ingin kamu dengar tetapi tidak akan pernah kamu dengar dari orang yang kamu harapkan untuk mengatakannya. Namun demikian janganlah menulikan telinga untuk mendengar dari orang yang mengatakannya dengan sepenuh hati.

24. Waktu kamu lahir, kamu menangis dan orang-orang di sekelilingmu tersenyum - jalanilah hidupmu sehingga pada waktu kamu meninggal, kamu tersenyum dan orang-orang di sekelilingmu menangis.

Ingat Allah (Dzikrullah)

Oleh : Hj. R. Farida Fauzy

Allah SWT tidak menciptakan hamba-Nya untuk suatu kesia-siaan. Ada amanah yang harus diemban dalam menjalani kehidupan di dunia ini, utamanya menjalankan perintah-Nya agar menyembah dan beribadah kepada-Nya.

Berzikir (mengingat Allah) adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Allah dan merupakan salah satu aktivitas ibadah untuk meraih kecintaan-Nya. Dengan berzikir, cahaya petunjuk Allah akan selalu menyertai kehidupan.

"Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Dan Dia-lah yang memberi rahmat kepadamu dan para malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang), dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman." (QS. Al Ahzab (33):41-43)

Dzikrullah, mengingat Allah, menyebut nama-Nya, mengakui keberadaan-Nya, merasakan kenikmatan yang dianugerahkan-Nya, tertunduk dihadapan-Nya, memuji-Nya, mengagungkan-Nya, adalah salah satu jalan untuk menuju kepada Allah, jalan untuk mendekat kepada-Nya, jalan untuk diingat oleh-Nya. "Ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat pula kepadamu ..." (QS. Al Baqarah (2):152)

Tentunya bila Allah ingat kepada kita, manfaat yang sangat besar akan kita rasakan. Mengingat Allah dan merasa dekat dengan-Nya, akan menjadikan diri kita dapat merasakan limpahan kasih sayang-Nya, dapat merasakan pertolongan-Nya, dapat merasakan kehebatan kekuasaan-Nya, dapat pula merasakan keindahan dan nikmatnya kehidupan dalam pengaturan-Nya.

Dan betapa indah janji Allah bagi hamba-Nya yang mau mengingat dan mendekat kepada-Nya. Sebagaimana disebutkan di dalam kitab Ash-Shahihain, sebuah hadis dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, "Allah berfirman, "Aku menurut prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Dan Aku bersamanya jika ia mengingat-Ku. Dan jika ia mengingat-Ku dalam jiwanya, maka Aku pun megingatnya di dalam Dzat-Ku. Dan jika ia mengingat-Ku di tengah orang banyak, maka akan Aku ingat ia di tengah kerumunan orang yang lebih baik darinya. Jika ia mendekatkan diri kepada-Ku sejengkal, Aku pun akan mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku pun mendekat kepadanya satu depa. Dan jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku pun akan datang kepadanya dengan berlari cepat."

Dengan berzikir kehidupan dapat dijalani dengan lebih nikmat, bukan dalam kegelapan yang tanpa arah. Segala permasalahan dapat dihadapi dengan penuh kesabaran, tidak lagi menjadikan kegelisahan atau keputusasaan, melainkan akan menjadi jalan untuk dapat mengingat Allah dan berusaha mendekat kepada-Nya.

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya..." (QS Al Maidah 5:35)

Dengan zikir dan doa, optimisme lahir, dengan itu pula sering kali menjadi jalan bagi seseorang mendapati ketenangan dan kedamaian, sirna kegelisahan, dada terasa lapang, pikiran menjadi terang. Indahnya kehidupan akan dapat dirasakan, bila senantiasa hidup ini diiringkan dengan banyak mengingat Allah. "(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram" (QS. Ar-Rad (13):28)

Sebagai ilustrasi, bila kita menjadi seorang anak yang selalu mengingat dan memperhatikan orang tua, niscaya orang tua kita pun akan selalu teringat kepada kita. Mereka akan selalu membela, menyayangi dan tidak akan pernah rela membiarkan anaknya menderita.

Allah SWT adalah yang kasih sayang-Nya begitu hebat melebihi kasih sayang orang tua pada anaknya. Tentunya kepada hamba yang selalu mengingat dan mematuhi aturan yang ditetapkan-Nya, Dia akan selalu menganugerahkan rahmat dan maghfirah-Nya. Rasulullah saw., bersabda, "Perbanyaklah mengingat Allah dalam segala hal. Sebab tidak ada perbuatan yang sangat disenangi Allah dan dapat menyelamatkan seorang hamba dari kejahatan dunia dan akhirat selain banyak berzikir kepada Allah."

Dzikrullah, tidak terbatas hanya dalam ibadah khusus ritual saja. Namun ia mencakup pula seluruh aktivitas yang berhubungan dengan makhluk ciptaan-Nya. Merasakan dinginnya setetes embun di pagi hari, melihat indahnya bunga yang berwarna warni, mendengar kicau burung dan gemericiknya air. Semua itu dapat menjadi sarana untuk dapat mengingat Allah Sang Pencipta dan Penguasa alam.

Tidak dapat diragukan lagi, menyadari hal-hal tersebut merupakan salah satu bentuk dan cara berzikir yang diajarkan oleh Alquran. Seperti halnya di dalam surat Ar-Rahman (55) berulang-ulang Allah menggugah hati manusia untuk mengingat nikmat-nikmat-Nya yang terbentang di alam raya, di samping mengingatkan janji dan ancaman-Nya.

Dalam sebuah hadis diberitakan, bahwa ada seseorang yang mengadu kepada Rasulullah saw., "Ya Rasulullah, sesungguhnya pintu kebaikan itu amatlah banyak. Saya tidak mampu melakukan semuanya. Beritahukanlah kepadaku sesuatu yang dapat saya pegang teguh. Saya mohon jangan terlalu banyak hingga memberatkanku dan menjadikan aku mudah melupakannya." Kemudian Rasulullah saw. menjawab,"Senantiasalah engkau menjaga lidahmu basah karena mengingat Allah." (H.R. at-Tirmidzi, Ahmad, Al Hakim dan Baihaqi)

Di lain kesempatan Rasulullah saw. pernah berpesan, "Janganlah banyak berbicara tanpa mengingat Allah, karena bicara tanpa mengingat Allah akan mengakibatkan hati menjadi keras; dan sesungguhnya orang yang paling jauh dari Allah adalah yang berhati keras."

Dalam hadits Qudsi ditegaskan: "Barang siapa yang lebih sibuk berzikir kepada-Ku daripada berdoa, maka Aku pasti memberikan kepadanya yang lebih utama daripada yang diberikan kepada orang-orang yang meminta."

Wallahu alam bish-showab.

Penulis, pengasuh Majelis Dzikir Al Farras Bandung.

Sukses Sejati

Oleh : KH. Abdullah Gymnastiar

Semoga Allah Yang Maha agung, mengaruniakan kepada kita kehati-hatian atas kesuksesan karena orang yang diuji dengan kegagalan ternyata lebih mudah berhasil dibandingkan dengan mereka yang diuji dengan kesuksesan. Banyak orang yang tahan menghadapi kesulitan, tetapi sedikit orang yang tahan ketika menghadapi kemudahan dan kelapangan.

Ada orang yang bersabar ketika tidak mempunyai harta, tetapi banyak orang yang hilang kesabaran ketika hartanya melimpah. Ternyata, harta, pangkat, dan gelar yang sering kali dijadikan sebagai alat ukur kesuksesan, dalam praktiknya malah sering membuat orang tergelincir dalam kesesatan dan kekeliruan.

Saudaraku yang budiman, setiap manusia pasti di dalam lubuk hatinya mempunyai cita-cita di masa depannya, dengan tergambar dalam pikirannya akan gemilang dan kesuksesannya. Namun, tidak sedikit dari sahabat-sahabat kita kebingungan dalam mengartikan kesuksesan itu sendiri.

Lantas, apakah sebenarnya makna dari sebuah kesuksesan? Setiap orang bisa jadi memiliki paradigma yang berbeda mengenai kesuksesan. Namun secara sederhana, sukses bisa dikatakan sebagai sebuah keberhasilan akan tercapainya sesuatu yang telah ditargetkan. Pada dasarnya, dalam dimensi yang lebih luas, sukses adalah milik semua orang. Namun, persoalan yang sering terjadi adalah bahwa tidak semua orang tahu bagaimana cara mendapatkan kesuksesan itu.

Dalam paradigma Islam, kesuksesan memang tidak hanya dilihat dari aspek duniawi, namun juga ukhrawi. Untuk itu, kita butuh suatu sistem atau pola hidup yang memungkinkan kita untuk dapat meraih sukses di dunia sekaligus di akhirat. Satu hal yang sejak awal harus direnungi bahwa sukses dunia jangan sampai menutup peluang kita untuk meraih sukses akhirat. Justru sukses hakiki adalah saat kita berjumpa dengan Allah nanti. Apalah artinya di dunia dipuji habis-habisan, segala kedudukan digenggam, harta bertumpuk-tumpuk, namun ternyata semua itu tidak ada harganya secuil pun di sisi Allah.

Orang yang sukses sebenarnya adalah orang yang berani taat kepada Allah, dan berhasil menjauhi segala larangan-Nya. Orang yang sukses sejati adalah orang yang terus-menerus berusaha membersihkan hati. Di sisi lain, dia terus meningkatkan kemampuan untuk mempersembahkan pengabdian terbaik, di mana hal itu akan terlihat dari keikhlasan dan kemuliaan akhlaknya. Sukses akhirat akan kita raih ketika sukses dunia yang didapatkan tidak berbenturan dengan rambu-rambu larangan Allah. Betapa bernilai ketika sukses duniawi diperoleh seiring ketaatan kita kepada Allah SWT.

Sebenarnya, siapa pun bisa menjadi orang mulia dan sukses, tak peduli ia seorang pembantu rumah tangga, guru, tukang sayur, atau pejabat pemerintah. Selama orang itu bekerja dengan baik dan benar, taat beribadah, dan akhlaknya mulia, dia bisa menjadi orang sukses.

Bukan jabatan yang membuat seseorang terlihat baik. Itu semua hanyalah "topeng". Semuanya tak ada apa-apanya kalau pribadinya sendiri tak berkualitas. Oleh karena itu, pantang kita hormat kepada orang yang tidak menjadikan kemuliaannya untuk taat kepada Allah.

Dalam Alquran Surat Al-Hujuraat ayat 13 Allah berfirman, "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antaramu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu". Jadi, yang paling mulia bukanlah orang yang paling banyak gelarnya atau orang yang paling kaya dan dianggap paling sukses. Orang mulia dan sukses adalah orang yang berhasil mengenal Allah. Lalu, dia taat pada-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Orang yang sukses adalah orang yang paling berhasil menata dirinya, menata pikirannya, menata matanya, menata mulutnya sehingga hidup ini ada di jalan yang tepat, yang disukai Allah. Posisi apa saja tidak apa-apa, tidak harus menjadi orang top dalam pandangan manusia, yang penting top dalam pandangan Allah. Toh, tidak mungkin satu negara presiden semuanya. Tidak mungkin kita jenderal semua. Kalau kesuksesan dianggap jenderal, cuma sedikit orang yang sukses.

Orang yang sukses adalah orang yang tidak merasa suci dan ingin dipuji. Orang sukses selalu bisa memuji Allah, dan tobat memohon ampun. Dia sadar bahwa apa pun yang diperolehnya adalah amanah. Insya Allah kita songsong saat kematian kita besok lusa dengan mempersembahkan karya terbaik kita dalam kehidupan. Ikhlas karena Allah. Itulah misi kehidupan kita, bukan pengumpul dunia yang akan kita tinggalkan. Itulah makna sukses yang sejati. Wallahualam. ***

Selalu Puas Atas Pemberian Allah SWT.

Oleh : Habib Alwi Assagaf

Sayidina Ali bin Abi Thalib k.w. yang merupakan pintu gerbang kota ilmu Rasulullah saw. berkata, "Sesungguhnya aku telah membaca kitab Taurat, Zabur, Injil, dan Al-Furqan. Kemudian kuambil satu kalimat sebagai intisari dari keempat Kitab Samawi tersebut. Aku ambil kalimat inti dari Taurat, `Barangsiapa yang puas atas pemberian Allah (Qana`ah), maka dia akan selalu kenyang`. Aku ambil kalimat inti dari Zabur, `Barangsiapa yang mampu meninggalkan keinginan-keinginan muluknya, maka ia akan selamat dari malapetaka`. Aku ambil kalimat inti dari Injil, `Barangsiapa yang taat, maka dia akan sukses`. Dan aku ambil kalimat inti dari Al-Furqan, `Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan selalu mencukupinya`." (Q.S. Ath-Thalaq: 3)

Qana`ah yaitu merasa puas dan menerima dengan senang hati apa pun yang diberikan Allah SWT kepada kita. Apakah bentuk pemberian tersebut sesuai dengan keinginan kita ataupun tidak, dengan satu keyakinan bahwa kenyataan itulah yang terbaik dan paling maslahat bagi kita, sebab hanya Allah SWT yang Mahatahu, Mahabijak, dan Maha Penyayang terhadap hamba-Nya.

Siapa yang beriman kepada Allah SWT tentu ia akan mematuhi semua perintah-Nya dan melaksanakan apa-apa yang dikehendaki-Nya, lalu menyerahkan urusan dirinya secara total kepadan-Nya serta tidak sembrono dalam beribadah kepada-Nya. Doa adalah roh ibadah yang merupakan kewajiban mutlak bagi setiap hamba selama ia merasa dan menyadari kefakiran dirinya serta masih punya kebutuhan terhadap Allah.

Seorang mukmin sejati akan senantiasa berdoa dan menyampaikan hajat-hajatnya kepada Allah SWT, kemudian ia berusaha dengan sekuat tenaga untuk mendapatkan apa yang ia harapkan. Sebab, hakikat doa adalah usaha itu sendiri. Demikian juga bahwa pemberian Allah SWT tidak turun begitu saja kepada manusia kecuali harus ada sebab-musababnya dan melalui suatu proses hukum alam (sunatullah) yang Dia berlakukan di jagad raya ini.

Oleh karena itu, doa dan usaha tidak bisa dipisahkan karena merupakan bagian dari sebab-musabab atau mekanisme untuk melewati dan menerobos hukum alam itu sehingga akhirnya antara doa, usaha, dan perkenaan (ijabah) Allah SWT bertemu di satu titik, saat itulah apa yang diinginkan si hamba akan diturunkan. Namun, perlu diingat juga bahwa doa dan usaha ini harus disertai tawakal yaitu penyerahan diri dan semua urusan kepada Allah SWT dengan satu keyakinan bahwa Dialah pemilik kekuasaan tertinggi di atas hamba-hamba-Nya dan Dialah yang Maha Mengatur segala urusan.

Tawakal bukanlah suatu pilihan terakhir yang dipaksakan atau solusi kepepet atas usaha-usaha kita yang gagal, juga bukanlah satu sikap semu untuk menghibur batin kita yang sebenarnya sedang kecewa. Tawakal juga bukan berarti berdiam diri menyerah pada kenyataan dan tidak mau merubah keadaan, tetapi tawakal adalah sebentuk kesadaran yang lahir dari keyakinan puncak seorang hamba kepada Tuhannya. Bahwasannya manusia hanya bisa berkehendak, berdoa, dan berusaha, namun hasil adalah mutlak di tangan Allah SWT.

Tawakal seperti sebuah pipa atau selang, sedangkan doa dan usaha adalah air yang mengalir di dalamnya. Supaya aliran air berjalan lancar tanpa gangguan maka pipanya pun harus selalu dalam keadaan bagus dan normal. Tatkala kita memulai doa dan usaha, saat itu juga tawakal harus senantiasa menyertai keduanya. Setiap doa dan usaha yang tidak dibarengi dengan tawakal, akan berujung pada kekecewaan dan keputusasaan.

Nabi saw. bersabda, "Barangsiapa yang menggantungkan dirinya terhadap akal dan kecerdasannya maka dia akan tersesat. Barangsiapa yang mengantungkan dirinya terhadap harta dan kekayaannya maka ia akan selalu miskin. Barangsiapa yang menggantungkan dirinya terhadap reputasi dan jabatannya maka ia akan terhina. Tetapi barangsiapa yang menggantungkan dirinya kepada Allah maka ia tidak akan pernah tersesat, miskin, ataupun hina".

Setelah doa dan usaha yang disertai tawakal itu dilakukan, apa pun bentuk hasilnya, sesuai harapankah atau tidak, kita harus menerimanya dengan puas dan senang hati. Inilah esensi Qana`ah. Orang yang merasa puas dengan apa yang diberikan, ia akan dibebaskan dari kesedihan dan keletihan.

Rasulullah saw. mengajarkan kepada Imam Ali as., "Wahai Ali, jika engkau bisa qana`ah, maka engkau dengan para raja dan penguasa di dunia ini akan berada dalam satu level. Wahai Ali, sesungguhnya qana`ah adalah kekayaan yang tidak pernah habis dan kerajaan yang takkan pernah musnah. Wahai Ali, jika engkau menginginkan kemuliaan dunia dan akhirat maka putuskanlah semua keinginanmu terhadap apa-apa yang ada di tangan manusia. Sesungguhnya derajat-derajat tertinggi yang telah dicapai para nabi dan rasul adalah karena mereka telah memutuskan harapannya terhadap apa-apa yang ada di tangan manusia".

Memang sangat sulit menerima kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan, namun kita harus belajar dan mencoba menghendaki realitas tersebut dengan qana`ah. Sebab, dengan jalan inilah kita akan senantiasa mendapat ketentraman dan kepuasan batin, dan mampu bersyukur dalam segala keadaan. Sebaliknya, ketika qana`ah seseorang menurun, hawa nafsunya yang akan meningkat. Dari sinilah muncul berbagai macam penyakit jiwa, depresi, frustasi, stres, dsb. yang diakibatkan oleh hasrat-hasrat duniawi dan dorongan hawa nafsu serakah yang tidak terpuaskan.

Allah SWT berfirman kepada Nabi Daud as., "Wahai Daud, engkau punya keinginan dan Aku pun punya keinginan. Jika engkau puas dan rela menerima keinginan-Ku, maka Aku akan berikan semua keinginanmu, tetapi jika engkau tidak rela menerima keinginan-Ku, maka Aku akan persulit semua keinginanmu. Dan setelah itu, tidak akan ada yang terjadi melainkan atas keinginan-Ku".

Cucu Nabi saw., al-Husain r.a. berkata, "Seandainya yang engkau inginkan tidak ada, maka inginilah (nikmatilah) yang ada". Qana`ah ibarat kapal keridaan Ilahi, mengangkut siapa pun yang ada di atasnya menuju istana kerajaan Tuhan. Milikilah keyakinan pada apa yang belum kita dapatkan dan rasa puas pada apa yang telah didapatkan.

Apabila orang yang beriman dan puas hatinya bersumpah bahwa pada akhirnya ia akan memperoleh kedua dunianya, Allah SWT akan membenarkannya dalam hal itu, dengan mewujudkan harapannya melalui kebesaran hati, keyakinan, dan kepuasan batinnya. Allah SWT berfirman, "Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (Q.S. An-Nahl: 97)

Imam Ali menjelaskan bahwa yang dimaksud Hayaatan Thayyibah dalam ayat ini adalah suatu kehidupan yang baik, manis, dan indah yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang qana`ah. Dia juga menambahkan, "Sesungguhnya kekayaan dan kemiskinan selalu berkeliling dan berpindah-pindah dari satu orang kepada yang lainnya, keduanya tidak pernah berkumpul pada satu orang, kecuali dalam diri orang yang qana`ah".

Bagi orang yang qana`ah, kaya atau miskin, dalam kondisi senang maupun susah, ketika urusannya lancar ataupun macet, ia tetap bisa menikmati hidup dengan kepuasan hati dan ketentraman batinnya. Sedangkan di akhirat kelak, surga telah menantinya.

Penulis, Ketua Majelis Habib, Jln. Kembar VI No. 8 Bandung.

Jangan Membanggakan Jerih Payah dan Amal Perbuatan

Diambil dari buku Telaga Ma'rifat, karya Syaikh Ibnu Athaillah

"Orang yang membangga-banggakan jerih payah dan perbuatannya, ketika gagal akan berkurang harapannya terhadap rahmat Allah"

Sebagai orang yang belajar ilmu ma'rifat, maka janganlah kita mempunyai anggapan bahwa segala sesuatu yang telah kita raih itu semata-mata atas jerih payah sendiri.

Hendaknya kita menghindari anggapan semacam itu. Karena jika kita terbiasa merasa bahwa keberhasilan hidup, kebahagiaan, rejeki yang melimpah, jabatan dan lain sebagainya itu semata-mata karena perjuangan kita, maka tentu mata hati akan tertutup dari kebenaran.

Suatu saat jika kita menghadapi kegagalan dari jerih payah yang kita lakukan, maka yang timbul hanyalah penyesalan. Kita dapat menyalahkan diri sendiri, bisa juga menyalahkan orang lain, dan mungkin pula menyalahkan Allah, na'udzu billaahi min dzaalik.

Manusia seringkali lupa bahwa di balik daya upaya dirinya itu ada Kekuatan Yang Maha Kuat. Kekuatan Yang Berkuasa dan menentukan harapan-harapannya. Jika mata hati kita tajam dan indra keenam cukup merasakan, maka kita akan melihat bahwa asal penyebab di balik jerih payah dan hasil yang kita dapatkan hanyalah dari Allah semata.

Bagi orang yang telah memiliki ilmu ma'rifat, kehidupan di duniaini dipandang oleh mata hatinya sebagai 'permainan'. Karena ia menganggapnya sebagai permainan, maka jika menemukan kegagalan, jiwanya tetap tegar. Jika mendapati kenikmatan atau keberhasilan, ia tak akan tinggi hati.

Kebanyakan diantara manusia lupa diri. Mereka menganggap semua harapan itu dapat diraih dengan kekuatan usahanya sendiri. Karenanya jika ia telah dapat mencapai kenikmatan hidup, akhirnya jadi berbangga diri. Mereka mengingkari nikmat yang dirasakan. Mereka lupa bahwa yang menentukan hasil akhir dari jerih payahnya adalah Tuhan. Tanpa campur tangan kekuasaan-Nya, tak mungkin dapat mencapai kenikmatan itu.

Jika kita lupa bahwa takdir Allah itu sangat mempengaruhi jerih payah dan usaha kita, maka kita pasti kecewa ketika menemui kegagalan.

Tetapi, jika kita sadar terhadap adanya penyebab kegagalan di balik usaha, maka kegagalan hanya sebagai peringatan guna memperkuat kesadaran dalam berkehendak.

Hakikat Fakir

Oleh : Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar M.A.

Sesungguhnya, kefakiran dan kemiskinan itu tidak identik dengan kefakiran dan kemiskinan harta. Jika kita merasa fakir dan miskin di hadapan kebesaran dan kekayaan Allah SWT, itulah yang dinamakan “al-faqr”. Orang yang merasakan seperti ini bisa saja hartanya banyak. Dan sebaliknya, orang yang angkuh bisa saja dia miskin. Sudah miskin harta, angkuh lagi di hadapan Allah SWT.

Sebaik-baiknya yang kita inginkan adalah bahagia di dunia dan di akhirat. Kalau kita harus memilih, maka lebih baik bahagia di akhirat, daripada bahagia di dunia saja. Dan lebih jelek lagi, jika di dunia tidak bahagia, di akhirat pun tidak bahagia. 
 
Ada 5 (lima) hal keadaan fakir:

Pertama, jika ia diberikan harta, maka ia tidak akan menyukainya, dan ia akan merasa tersiksa dengan harta tersebut dan tidak mau mengambilnya. Ia selalu menjaga diri dari kejahatan dan kesibukan pada harta tersebut. Inilah yang disebut dengan “zuhud”. Sedangkan orang yang memiliki sifat tersebut dinamakan “zahid”.

Hal ini sungguh sangat berat untuk kita jalani. Jika ada orang yang ketika diberikan harta kepadanya, kemudian ia tidak menyukai harta tersebut, ia merasa tersiksa akan harta itu, dan kemudian dia tidak mau mengambilnya. Mengapa? Karena kebutuhan pokoknya sudah terpenuhi, kemudian tiba-tiba mendapatkan lagi harta dari orang lain, sehingga ia sebetulnya merasa tidak terlalu senang dan juga merasa tersiksa akan harta tersebut. Untuk apa harta yang ia dapatkan lagi tersebut lebih dari apa yang ia butuhkan. Jangan-jangan nanti harta tersebut akan memberatkannya dalam perjalanan menuju Allah SWT.

Jarang sekali yang bisa melakukan ini. Pada umumnya adalah kebalikannya, yaitu sudah dapat harta banyak, kemudian berdoa lagi agar hartanya bertambah banyak.

Memang tidak gampang untuk menjadi zahid. Apabila kita sudah mampu merasakan hal seperti ini, maka kita sudah terpilih menjadi orang yang zahid. Sebenarnya juga tidak terlalu berat untuk menjadi zahid, jika kita sudah membiasakan diri untuk bersikap dekat kepada Allah. Yang kita butuhkan sebenarnya bukan harta Tuhan, bukan rahmat Tuhan, bukan rizki Tuhan, melainkan Tuhannya itu sendiri yang kita butuhkan.
“Ambil harta itu, yang saya butuhkan adalah Engkau ya Allah.” Bahkan ada yang mengatakan, “Ambil surga itu, yang sangat saya butuhkan adalah Engkau ya Allah.” Dia lupa kenikmatan surga itu seperti apa, yang penting “aku memiliki-Mu, aku bersama-Mu ya Allah. ” Ia lupakan surga itu sendiri.

Kita masih awam, sehingga belum sampai kepada tingkatan seperti itu. Tapi tidak mustahil, misalkan kita dapat rizki, dapat promosi untuk jabatan baru, maka kita ucapkan, “Terima kasih ya Allah, saya bersyukur kepada-Mu. Tapi sesungguhnya bukan ini yang paling saya butuhkan. Yang saya butuhkan Engkau ya Allah.”
Pada orang yang seperti ini, ketika rizkinya banyak, dia tidak terlalu bahagia, melainkan Allah sebenarnya yang ia butuhkan. Orang yang seperti ini tidak akan pernah mabuk dengan pemberian Tuhan, melainkan Tuhan itulah yang ia butuhkan. Sebaliknya, jika yang diberikan kebalikannya, seperti: miskin, sakit, kematian, maka yang ia ucapkan adalah, “Tidak apa-apa ya Allah, yang penting aku dekat dengan-Mu, yang penting Engkau tidak menjauhiku.”

Jika kita mampu berprinsip seperti ini, insya Allah, surga akan datang lebih awal menjemput kita. Karena ketika diberikan kekayaan, kita kemudian menjadi tidak mabuk akan kekayaan tersebut. Jadi, seandainya harta itu, atau jabatan itu diambil oleh Tuhan, maka kita tidak terlalu merasa kecewa. Mengapa? Karena memang bukan itu yang paling kita butuhkan, melainkan Tuhan-lah yang paling kita butuhkan.
Jadi, yang disebut dengan zuhud itu adalah, bahwa jika lebih daripada kecukupannya, maka itu akan menjadi beban pada dirinya sendiri. Persoalannya, definisi cukup itu berapa?

Tingkat kecukupan antara orang kaya dengan orang miskin tentunya berbeda. Tidak pernah ada orang yang merasa cukup. Bagi orang yang dekat dengan Tuhan, pasti dia mampu mendefinisikan apa pengertian cukup itu. Jika kita tidak tahu batas kecukupan tersebut, merupakan pertanda bahwa ada masalah diri kita dengan Allah.

Orang yang merasa kelaparan saja bisa merasa cukup, “Ya Allah, terima kasih. Mungkin ini yang terbaik pilihan-Mu. Karena jika aku kekenyangan, maka aku tidak bisa khusyu’ dengan-Mu.”
Kita tentunya bercita-cita menjadi orang yang seperti ini. Karena untuk menjadi orang yang zuhud itu tidak mesti harus melarat. Jika kita sudah mampu bersikap agar harta yang yang kita miliki tersebut tidak membebani kita, maka hal tersebut sudah cukup untuk menjadikan kita sebagai seorang zahid.

Misalkan: walaupun hartanya banyak, depositonya banyak, sahamnya di mana-mana, tapi ia merasa tidak terbebani. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena ia selalu berzakat, bahkan juga berwakaf. Alangkah kikirnya bagi seorang yang kaya, jika pengeluarannya hanyalah zakat. Kelewatan kikir bagi orang tersebut, karena hanya 2,5 persen yang ia keluarkan untuk zakat. Sudah selayaknya ia juga mengeluarkan shadaqah, infaq, jariyah, hadiah kepada pembantu yang akan pulang kampung misalnya, ada ujrah (upah yang meningkat) yang diberikan kepada karyawannya. Meningkatkan gaji karyawan, kelebihan dari standardnya itu adalah shadaqah. Hal-hal ini menjadikan seseorang tidak terbebani oleh harta bendanya tersebut.

Bagaimanakah caranya agar kita tidak terbebani, walaupun harta yang kita miliki begitu banyaknya? Tidak bermasalah bagi kita, walaupun Tuhan akan menjemput kematian kita hari ini. Karena semua harta yang kita miliki sudah beres dan bersih. Lebih dari sekedar zakat yang kita keluarkan, bahkan misalkan sudah ada wasiat, bahwa jika kita meninggal, maka sepertiga dari harta kita diikhlaskan untuk fi sabilillah, dan tiga perempatnya untuk keluarga. Sebagai catatan, bahwa di dalam Fiqh Islam juga tidak dibenarkan berwasiat lebih dari sepertiga itu.

Kedua, bahwa ia tidak menyukai harta dengan kesenangan yang dapat menggembirakannya karena dapat meraihnya.
Jika yang pertama adalah orang yang tidak suka dengan harta, sedangkan yang kedua ini ia masih mencari harta. Bahkan ia tidak membenci harta, malahan masih mencari dan menyukainya. Ketika ia diberi harta, maka ia akan zuhud. Jika ia mendapat harta, maka ia akan merasa, bahwa harta tersebut bukan mutlak miliknya, melainkan hanya titipan Allah lewat dirinya. Orang yang memiliki sikap ini disebut sebagai orang yang rela, bukan zuhud. Pada orang yang zuhud (pada yang pertama), memang ada unsur ketidaksukaan lagi kepada harta yang sudah lebih dari batas standard hidupnya.

Ketiga (ini kebanyakan di antara kita), yaitu bila wujud harta itu lebih dicintainya daripada ketidaksenangannya kepada harta.
Maksudnya, cinta terhadap harta lebih dominan dibandingkan tidak senang terhadap harta tersebut (yang hal ini adalah normal), namun tidak sampai menggerakkan orang tersebut untuk mencarinya. Yaitu, tidak semua daftar keinginannya itu akan diburu dan dikejar-kejarnya (ada pembatasan diri). Ia hanya akan mengambil apa yang pantas menjadi haknya. Tetapi jika ia diberikan harta dengan bersih, ataupun gratis tanpa usaha, maka ia juga akan mengambilnya, sepanjang harta tersebut halal.
Pada yang pertama (seperti disebutkan di atas), jika ia mendapatkan harta seperti ini, maka dia akan merasa terbebani. Sedangkan yang ketiga ini, baginya tidak ada urusan hal tersebut (tidak terbebani). Baginya, mendistribusikan harta tersebut lebih mudah dibandingkan untuk memperolehnya. Ia senang jika mendapatkan harta dan keuntungan dengan tiba-tiba tersebut. Inilah kebanyakan di antara kita. Akan tetapi, apabila memerlukan sesuatu usaha dalam mencarinya, maka ia tidak berbuat. Jadi, ada pembatasan-pembatasan diri. Orang yang seperti ini disebut sebagai “orang yang menerima”.

Keempat, ia meninggalkan mencari harta karena kelemahan dan ketidakmampuannya.
Pada yang keempat ini, hidupnya habis untuk mencari harta. Nanti, ketika sudah loyo, sudah tidak ada energi lagi, barulah ia akan berhenti mencari harta. Ketika ia mencari harta, maka ia akan mencarinya dengan kesenangan, meskipun harus berusaha dan bersusah-payah dalam mencarinya. Namun, ketika ia diajak untuk shalat berjamaah misalkan, maka akan banyak sekali alasannya. Orang yang seperti ini di dalam bahasa tasawuf disebut sebagai “orang yang rakus.”

Kelima, ia tidak memiliki harta, padahal ia sangat memerlukannya.
Contoh yang kelima ini adalah orang yang lapar, ataupun orang yang menggelandang di jalanan tanpa memiliki tempat tinggal. Orang seperti ini disebut sebagai “orang yang terdesak.” Ia miskin karena terpaksa, tidak ada jalan lain.

Keterpaksaan seseorang itu menjadi miskin bukanlah disebut al-faqr. “Al-Faqr” itu sebetulnya punya potensi untuk kaya, tapi ia tidak mencapainya, karena ia ingin lebih memprioritaskan dirinya dekat kepada Tuhan.
Kedahagaan itu seperti minum air laut, yang hal tersebut tidak akan menghentikan haus. Dalam hal ini, perlu adanya sikap “al-qana’ah” (tahu diri). Memang, cobaan itu banyak sekali. Misalkan: biasanya ketika pensiun, maka semakin banyak peluang rizki. Itu sebenarnya adalah godaan. Itu adalah cara iblis untuk men-su-ul khatimahkan seseorang. Ketika semakin tua semakin bagus rizkinya, akhirnya semakin tidak punya waktu untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tentunya kita tidak ingin seperti ini. Alangkah lebih baiknya kita regenerasikan kepada generasi penerus kita.

Biasanya, jarang sekali ada yang mau mendelegasikan usahanya, kekayaannya kepada anak-anaknya, sepanjang orang tersebut masih kuat. Sementara anaknya ke sana ke mari mencari kerja. Mengapa tidak ada kepercayaan dalam hal ini? Apakah karena terlalu banyak kekhawatiran, atau karena di alam bawah sadarnya memang sudah disetel oleh iblis dengan berbagai kekhawatiran?
Kadang-kadang, bukan anak kita yang tidak siap, melainkan kita yang terlalu rakus sebagai orang tua. Terlalu besar kekhawatiran kita, padahal itu hanya bisikan iblis. Kita mau menangani semuanya, yang kemudian kita tidak ada waktu lagi untuk beribadah. Suatu waktu ketika ajal menjemput, kita hanya bisa menyesal.
Ketahuilah, bahwa zuhud itu adalah suatu derajat yang merupakan kesempurnaan bagi orang-orang yang baik. Kesempurnaan akhlak seseorang tersebut adalah ketika muncul padanya perasaan zuhud.

Salah satu ciri-ciri dari orang yang zuhud itu adalah “low profile”. Antara orang miskin dengan orang kaya, standard low profile-nya juga berbeda. Bukanlah low profile kalau sesungguhnya orang tersebut sebenarnya pantas untuk memiliki lima lembar pakaian, tapi ia tetap memiliki satu lembar pakaian dengan maksud untuk ber-zuhud. Siapa tahu misalkan pakaiannya itu terpercik najis, maka pakaian mana lagi yang akan ia pakai untuk shalat?

Orang yang ingin ber-zuhud itu sudah semestinya mengantisipasi segala kemungkinan, sehingga kuantitas dan kualitas ibadahnya kepada Allah menjadi tidak berkurang. Antisipasi seperti ini perlu, bagi seorang yang mempunyai perencanaan. Jika akhirat mempunyai perencanaan, maka dunia pun tentunya harus ada perencanaan.

Rasulullah bersabda: “a-‘uzubika minal faqri (Aku berlindung kepada Engkau dari kefakiran).”
Doa Rasulullah tersebut adalah memohon agar tidak menjadi miskin “kere”, bukan miskin seperti yang didefinisikan di atas. Bahkan Allah mengatakan, “qadal faqru ayyakuna kufran (hampir-hampir kefakiran itu menjadi kekufuran).”

Deislamisasi itukan seringnya terjadi di daerah-daerah miskin. Bahwa kadang-kadang karena kefakiran dan kemiskinan, maka orang tersebut pindah agama. Hadits ini memang semestinya menjadi perhatian kita bersama. Jangan sampai kita tidak mau memperbaiki perekonomian kita, yang akhirnya Umat Islam akan menjadi sengsara.

Rasulullah bersabda, “ahyani miskinan wa amitni miskinan (Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, dan matikanlah aku dalam keadaan miskin).” Hadits ini jangan dipertentangkan dengan hadits yang pertama tadi, karena maksudnya berbeda. Hadits yang ini maksudnya adalah miskin di depan Tuhan, sekalipun hartanya banyak.

Kefakiran yang Rasulullah mohon perlindungan dari Allah seperti dalam sabdanya yang pertama di atas adalah kefakiran orang-orang yang terdesak, yang terpaksa miskin karena keadaan. Sedangkan kemiskinan pada sabda yang kedua yang dimaksudkan di atas adalah pengakuan kemiskinan dan kehinaan di hadapan Allah SWT.

Rasulullah besabda: “Ilaqallaha faqiran wa la talqahu ghaniyyan (Bertemulah kepada Allah dalam keadaan fakir, dan janganlah menemuinya dalam keadaan kaya).”

Maksudnya adalah, bertemu kepada Allah dalam keadaan merasa miskin dihadapan-Nya. Karena memang tidak mungkin kita bisa berhadapan langsung dengan Tuhan dengan merasa kaya. Itu artinya ada keangkuhan. Contohnya, lebih bagus mana perut dalam keadaan berpuasa, atau dalam keadaan kekenyangan?

Innalaha yuhibbul faqir al-mutha’affif abbal a’yal (Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang fakir yang menjaga kehormatan diri, yang menjadi bapak keluarga).”
Maksudnya ialah, seorang yang miskin tidak akan mendemonstrasikan kemiskinannya supaya mendapat perhatian dan bantuan dari orang lain.
Rasulullah bersabda: “Orang-orang fakir dari ummatku masuk surga sebelum orang-orang kaya dari mereka, dengan selisih waktu 500 tahun.”

Jadi, orang-orang miskin masuk surga duluan 500 tahun, baru kemudian orang kaya. 500 tahun akhirat itu, satu hari di sana perbandingannya sama dengan 5000 tahun di dunia. Tetapi tentunya kita berhusnudz-dzan, bahwa penantiannya itu bukanlah di neraka, karena akan diperiksa semua kekayaannya lebih teliti lagi.
Jadi, hal ini mungkin sangat penting bagi kita. Marilah kita mencoba memelihara, jangan sampai kita merasa kaya di depan Allah. Ber-tawadhu’lah kita kepada-Nya, karena Allah Maha Tahu.

Merendam Rasa Tersinggung

Oleh : KH. Abdullah Gymnastiar

Salah satu hal yang sering membuat energi kita terkuras adalah timbulnya rasa ketersinggungan diri. Munculnya perasaan ini sering disebabkan oleh ketidaktahanan kita terhadap sikap orang lain. Ketika tersinggung, minimal kita akan sibuk membela diri dan selanjutnya akan memikirkan kejelekan orang lain. Hal yang paling membahayakan dari ketersinggungan adalah habisnya amal kita. Efek yang biasa ditimbulkan oleh rasa tersinggung adalah kemarahan. Jika kita marah, kata-kata jadi tidak terkendali, stress meningkat, dan lainnya. Karena itu, kegigihan kita untuk tidak tersinggung menjadi suatu keharusan. 

Apa yang menyebabkan orang tersinggung? Ketersinggungan seseorang timbul karena menilai dirinya lebih dari kenyataan, merasa pintar, berjasa, saleh, tampan, dan merasa sukses. Setiap kali kita menilai diri lebih dari kenyataan bila ada yang menilai kita kurang sedikit saja akan langsung tersinggung. Peluang tersinggung akan terbuka jika kita salah dalam menilai diri sendiri. Karena itu, ada sesuatu yang harus kita perbaiki, yaitu proporsional menilai diri. Teknik pertama agar kita tidak mudah tersinggung adalah tidak menilai lebih kepada diri kita. Misalnya, jangan banyak mengingat-ingat bahwa saya telah berjasa, saya seorang guru, saya seorang pemimpin, saya ini orang yang sudah berbuat. Semakin banyak kita mengaku-ngaku tentang diri kita, akan membuat kita makin tersinggung. Ada beberapa cara yang cukup efektif untuk meredam ketersinggungan. Pertama, belajar melupakan. Jika kita seorang sarjana maka lupakanlah kesarjanaan kita. Jika kita seorang direktur lupakanlah jabatan itu. Jika kita ustadz lupakan keustadzan kita. 

Jika kita seorang pimpinan lupakanlah hal itu, dan seterusnya. Anggap semuanya ini amanah agar kita tidak tamak terhadap penghargaan. Kita harus melatih diri untuk merasa sekadar hamba Allah yang tidak memiliki apa-apa kecuali ilmu yang dipercikkan oleh Allah sedikit. Kita lebih banyak tidak tahu. Kita tidak mempunyai harta sedikit pun kecuali sepercik titipan Allah. Kita tidak mempunyai jabatan ataupun kedudukan sedikit pun kecuali sepercik yang Allah amanahkan. Dengan sikap seperti ini hidup kita akan lebih ringan. Semakin kita ingin dihargai, dipuji, dan dihormati, akan kian sering kita sakit hati. Kedua, kita harus melihat bahwa apa pun yang dilakukan orang kepada kita akan bermanfaat jika kita dapat menyikapinya dengan tepat. Kita tidak akan pernah rugi dengan perilaku orang kepada kita, jika bisa menyikapinya dengan tepat. 

Kita akan merugi apabila salah menyikapi kejadian, dan sebenarnya kita tidak bisa memaksa orang lain berbuat sesuai dengan keinginan kita. Yang bisa kita lakukan adalah memaksa diri sendiri menyikapi orang lain dengan sikap terbaik kita. Apa pun perkataan orang lain kepada kita, tentu itu terjadi dengan izin Allah. Anggap saja ini episode atau ujian yang harus kita alami untuk menguji keimanan kita. Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji′uun. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al Baqarah: 155-157). Ketiga, kita harus berempati.

Yaitu, mulai melihat sesuatu tidak dari sisi kita. Perhatikan kisah seseorang yang tengah menuntun gajah dari depan dan seorang lagi mengikutinya di belakang Gajah tersebut. Yang di depan berkata, "Oh indah nian pemandangan sepanjang hari". Kontan ia dilempar dari belakang karena dianggap menyindir. Sebab, sepanjang perjalanan, orang yang di belakang hanya melihat pantat gajah. Karena itu, kita harus belajar berempati. Jika tidak ingin mudah tersinggung, cari seribu satu alasan untuk bisa memaklumi orang lain. Namun yang harus diingat, berbagai alasan yang kita buat semata-mata untuk memaklumi, bukan untuk membenarkan kesalahan, sehingga kita dapat mengendalikan diri. Keempat, jadikan penghinaan orang lain kepada kita sebagai ladang peningkatan kwalitas diri dan kesempatan untuk mengamalkan sifat mulia. Yaitu, memaafkan orang yang menyakiti dan membalasnya dengan kebaikan. Wallahu a′lam bish-shawab.

Hidup Adalah Maknai

Oleh: Ust. Heru Pudji Hartanto

“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkakan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan, serta menolak kejahatan dengan kebaikan, orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan yang baik, yaitu surga ‘Adn, Mereka masuk kedalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya. Sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan): “keselamatan atasmu berkat kesabaranmu.” Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.
( QS Al-Ra’d : 22-24 )

Betapa Allah memberikan kelebihan balasan kepada mereka yang memiliki kesabaran, dan menjadikan kesabaran itu sebagai cara mensikapi kenyataan hidupnya (walaupun terkadang amat pahit untuk dijalani). Beragam cobaan datang menerpa, baik itu berupa kebaikan atau keburukan, dapat dengan bijak diatasi dengan kesabaran yang dimilikinya.

Hati yang didalamnya bersemayam “sabar”, menjadikan personanya memiliki sikap positif terhadap kemungkinan. Bukankah masa depan tidak lain adalah berisi kemungkinan-kemungkinan ? dan sikap positif terhadap kesemuanya itu, tentu membuahkan harapan hidup lebih besar bagi seorang mukmin. Sementara itu, kehadiran “sabar” dalam hati seseorang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya memaknai berbagai peristiwa yang terjadi dalam hidupnya.

Pengetahuan akan hakekat hidup menjadi factor penting dalam menentukan kualitas sabar dalam diri seseorang. Untuk itulah Allah melalui firman-firman-Nya, Rasulullah saw. Melalui sabdanya, menjelaskan dann mengungkapkan hakekat dan tujuan dari beragam cobaan hidup yang menimpa kita, sehingga kita mendapatkan “keselamatan” sebagai “berkah” dari “kesabaran” yang kita miliki.

Dari Abu Hurayrah, Rasulullah saw. Bersabda, “Allah berfirman, Jika Aku menguji hamba-Ku yang beriman dan ia tidak mengeluhkan penyakitnya kepada-Ku, maka ia akan Aku bebaskan dari penawanan-Ku. Kemudian Aku akan menggantikan dagingnya dengan daging yang lebih baik dari dagingnya, darahnya dengan darah yang lebih baik. Sehingga iapun memulai lembaran amal yang baru.” (HR. Al-Hakim)

Dan disaat A’isyah ditanya tentang firman Allah, “Dan jika kamu menampakan apa yang ada dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan denganmu tentang perbuatan itu.” (QS. Al-Baqarah : 284), dan firman-Nya, “Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu.” (QS. An-Nisa’ : 123). A’isyah berkata, “Tak seorangpun bertanya kepadaku tentang ayat ini sejak aku menanyakannya kepada Rasulullah saw. Ketika itu, beliau bersabda kepadaku, “Wahai A’isyah, ini ujian Allah kepada hamba-Nya berupa penyakit demam, bencana, kesulitan, sampai kehilangan barang yang ia simpan di sakunya dan sempat mencemaskannya, tetapi ia lalu temukan dibawah ketiaknya (dengan ujian itu) seorang mukmin keluar dari dosa-dosanya seperti keluarnya emas merah dari tungku ukupan” (H.R. Ibn Abi al-Dunya).

Demikianlah tuntunan Rasulullah saw. Guna memaknai berbagai peristiwa dalam kehidupan ini (terlebih-lebih disaat cobaan serta ujian hidup datang).

Abd al-Rahman ibn Abu Bakr berkata, Rasulullah saw. Bersabda, “Sesungguhnya perumpamaan seorang hamba yang beriman ketika ditimpa rasa nyeri ataupun demam, adalah seperti besi yang dimasukan api. Itu dapat menghilangkan cacatnya dan yang tinggal hanya kebaikannya.” (HR. al-Hakim).

Dari al-Hasan, dalam sebuah hadist yang marfuk Rasulullah saw. Bersabda, “sesungguhnya Allah akan menutupi seluruh kesalahan seseorang mukmin dengan menimpakan demam pada satu malam saja” (HR Ibn Abi al-Dunya).

Abu Burdah berkata, “Suatu ketika aku berada dekat Mu’awiyah, dan seorang dokter sedang mengobati luka dipunggungnya. Ia berkata. “Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, “Tidaklah seorang muslim mendapat musibah pada tubuhnya, kecuali ia menjadi kaffarat bagi dosa-dosanya.” (HR. Ahmad)

Anas berkata, Rasulullah saw. Bersabda, “Menjauhi dunia bukan dengan mengharamkan apa yang halal dan membuang harta. Tetapi, hendaknya apa yang ditanganmu tidak lebih kamu percayai dari apa yang ada di tangan Allah. Hendaknya musibah yang menimpamu karena kehilangan sesuatu lebih kamu sukai daripada sesuatu yang hilang itu tetap bersamamu.” (HR. al-Tirmidzi)

Etika Bergaul

Oleh : Ust. Fariq bin Gasim Anuz

Cita-cita tertinggi seorang muslim, ialah agar dirinya dicintai Allah, menjadi orang bertakwa yang dapat diperoleh dengan menunaikan hak-hak Allah dan hak-hak manusia. diantara tanda-tanda seseorang dicintai Allah, yaitu jika dirinya dicintai olah orang-orang shalih, diterima oleh hati mereka. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi was sallam bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya Allah jika mencintai seorang hamba, Ia memanggil Jibril, “Sesungguhnya Aku mencintai si fulan, maka cintailah ia.”Lalu Jibril mencintainya dan menyeru kepada penduduk langit, “Sesungguhnya Allah mencintai si fulan, maka cintailah ia.”Maka (penduduk langit) mencintainya, kemudian menjadi orang yang diterima di muka bumi.” [Hadits Bukhari dan Muslim,dalam Shahih Jami’ush Shaghir no.283]

Diantara sifat-sifat muslim yang dicintai oleh orang-orang shalih di muka bumi ini, diantaranya ia mencintai mereka karena Allah, berakhlak kepada manusia dengan akhlak yang baik, memberi manfaat, melakukan hal-hal yang disukai manusia dan menghindari dari sikap-sikap yang tidak disukai manusia.

Berikut ini beberapa dalil yang menguatkan keterangan di atas.

Allah berfirman.

“Artinya : Pergauilah mereka (isteri) dengan baik”. [An-Nisaa : ’1]

“Artinya : Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik”. [Ali-Imran : 134]

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda.

“Artinya : Bertakwalah engkau dimanapun engkau berada, Sertailah keburukan itu dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapus keburukan.Dan berakhlaklah kepada manusia dengan akhlak yang baik” [HR.Tirmidzi, ia berkata :Hadits hasan]

“Artinya : Seutama-utama amal Shalih, ialah agar engkau memasukkan kegembiraan kepada saudaramu yang beriman”.[HR.Ibn Abi Dunya dan dihasankan olah Syaikh Al-Albani dalam Shahih Jami’ush Shaghir 1096]

URGENSI PEMBAHASAN ETIKA BERGAUL
Adab bergaul dengan manusia merupakan bagian dari akhlakul karimah (akhlak yang mulia). akhlak yang mulia itu sendiri merupakan bagian dari dienul Islam. Walaupun prioritas pertama yang diajarkan olah para Nabi adalah tauhid, namun bersamaan dengan itu, mereka juga mengajarkan akhlak yang baik. Bahkan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam diutus untuk menyempurnakan akhlak. beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam adalah seorang manusia yang berakhlak mulia. Allah berfirman.

“Artinya : Dan sesungguhnya engkau berada di atas akhlak yang agung”.[Al-Qalam 4]

Dan kita diperintahkan untuk mengikuti beliau, taat kepadanya dan menjadikannya sebagai teladan dalam hidup. Allah telah menyatakan dalam firman-Nya :

“Artinya : Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu contoh teladan yang baik” [Al-Ahzab 21]

Dengan mempraktekkan adab-adab dalam bergaul, maka kita akan memperoleh manfaat, yaitu berupa ukhuwah yang kuat diantara umat Islam, ukhuwah yang kokoh, yang dilandasi iman dan keikhlasan kepada Allah. Allah telah berfirman.

“Artinya : Dan berpegang teguhlah kalian denga tali (agama ) Allah bersama-sama , dan janganlah kalian bercerai-berai, Dan ingatlah nikmat Allah yang telah Allah berikan kepada kalian, ketika kalian dahulu bermusuh-musuhan, lalu Allah lunakkan hati-hati kalian sehingga dengan nikmat-Nya, kalian menjadi bersaudara, padahal tadinya kalian berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian daripadanya. Demikianlah Allah menjelaskan kepada kalian ayat-ayatnya, agar kalian mendapat petunjuk” [Al-Imran : 103]
.
Oleh karena itu, adab-adab bergaul ini sangat perlu dipelajari untuk kita amalkan. kita harus mengetahui, bagaimana adab terhadap orang tua, adab terhadap saudara kita, adab terhadap istri kita, adab seorang istri terhadap suaminya, adab terhadap teman sekerja atau terhadap atasan dan bawahan. Jika kita seorang da’i atau guru, maka harus mengetahui bagaimana adab bermuamalah dengan da’i atau lainnya dan dengan mad’u (yang didakwahi) atau terhadap muridnya. Demikian juga apabila seorang guru, atau seorang murid atau apapun jabatan dan kedudukannya, maka kita perlu untuk mengetahui etika atau adab-adab dalam bergaul.

Kurang mempraktekkan etika bergaul, menyebabkan dakwah yang haq dijauhi oleh manusia. Manusia menjadi lari dari kebenaran disebabkan ahli haq atau pendukung kebenaran itu sendiri melakukan praktek yang salah dalam bergaul dengan orang lain. Sebenarnya memang tidaklah dibenarkan seseorang lari dari kebenaran, disebabkan kesalahan yang dilakukan oleh orang lain.

Jika inti ajaran yang dibawa oleh seseorang itu benar, maka kita harus menerimanya, dengan tidak memperdulikan cara penyampaiannya yang benar atau salah, etikanya baik atau buruk, akan tetapi pada kenyataannya, kebanyakan orang melihat dulu kepada etika orang itu. Oleh karena itu, mengetahui etika ini penting bagi kita, sebagai muslim yang punya kewajiban saling menasehati sesama manusia, agar bisa mempraktekkan cara bergaul yang benar.

MOTIVASI DALAM BERGAUL
Faktor yang mendorong seorang muslim dalam bergaul dengan orang lain ialah semata-mata mencari ridha Allah. ketika seorang muslim tersenyum kepada saudaranya, maka itu semata-mata mencari ridha Allah, karena tersenyum merupakan perbuatan baik. Demikian juga ketika seorang muslim membantu temannya atau ketika mendengarkan kesulitan-kesulitan temannya, ketika menepati janji, tidak berkata-kata yang menyakitkan kepada orang lain, maka perbuatan-perbuatan itu semata-mata untuk mencari ridha Allah, Demikianlah seharusnya. jangan sebaliknya, yaitu, bertujuan bukan dalam rangka mencari ridha Allah. Misalnya : bermuka manis kepada orang lain, menepati janji, berbicara lemah-lembut, semua itu dilakukan karena kepentingan dunia. atau ketika berurusan dalam perdagangan, sikapnya ditunjukkan hanya semata-mata untuk kemaslahatan dunia. tingkah laku seperti ini yang membedakan antara muslim dengan non muslim.

Bisa saja seorang muslim bermuamalah dengan sesamanya karena tujuan dunia semata. Seseorang mau akrab, menjalin persahabatan disebabkan adanya keuntungan yang didapatnya dari orang lain. Manakala keuntungan itu tidak didapatkan lagi, maka ia berubah menjadi tidak mau kenal dan akrab lagi. Atau seseorang senang ketika oramg lain memberi sesuatu kepadanya, akan tetapi ketika sudah tidak diberi, kemudian berubah menjadi benci. Hal seperti itu bisa terjadi pada diri seorang muslim. Sikap seperti itu merupakan perbuatan salah.

Al-Imam Ibn Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam kitab Zaadul Ma’ad juz ke-4 hal 249 : “Diantara kecintaan terhadap sesama muslim ada yang disebut mahabbatun linaili gharadlin minal mahbud, yaitu suatu kecintaan untuk mencapai tujuan dari yang dicintainya, bisa jadi tujuan yang ingin ia dapatkan dari kedudukan orang tersebut, atau hartanya, atau ingin mendapatkan manfaat berupa ilmu dan bimbingan orang tersebut, atau untuk tujuan tertentu; maka yang demikian itu disebut kecintaan karena tendensi. atau karena ada tujuan yang ingin dicapai, kemudian kecintaan ini akan lenyap pula seiring dengan lenyapnya tujuan tadi. Karena sesungguhnya, siapa saja yang mencintaimu dikarenakan adanya suatu keperluan, maka ia akan berpaling darimu jika telah tercapai keinginannya”. hal seperti ini sering terjadi dalam kehidupan kita.

Contohnya :seorang karyawan sangat menghormati dan perhatian kepada atasannya di tempat kerja. tetapi apabila atasannya itu sudah pensiun atau sudah tidak menjabat lagi, karyawan ini tidak pernah memikirkan dan memperhatikannya lagi.

Begitu juga ketika seseorang masih menjadi murid, sangat menghormati gurunya. Namun ketika sudah lulus (tidak menjadi muridnya lagi), bahkan sekolahnya sudah lebih tinggi dari gurunya itu, bertemu di jalan pun enggan untuk menyapa.

Banyak orang yang berteman akrab hanya sebatas ketika ada kepentingannya saja.yakni ketika menguntungkannya, dia akrab, sering mengunjungi, berbincang-bincang dan memperhatikannya.namun ketika sudah tidak ada keuntungan yang bisa didapatnya, kenal pun tidak mau.

Ada juga seseorang yang hanya hormat kepada orang kaya saja. Adapun kepada orang miskin, memandang pun sudah tidak mau. Hal semacam ini bukan berasal aturan-aturan Islam. menilai seseorang hanya dikarenakan hartanya, hanya karena nasabnya, hanya karena ilmunya, yaitu jika kepada orang yang berilmu dia hormat dan menyepelekan kepada orang yang tak berilmu. hal-hal seperti itu merupakan perbuatan yang keliru.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan dalam Majmu’Fatawa juz 10, beliau berkata: “Jiwa manusia itu telah diberi naluri untuk mencintai orang yang berbuat baik kepadanya, namun pada hakekatnya sesungguhnya hal itu sebagai kecintaan kepada kebaikan, bukan kepada orang yang telah berbuat baik.apabila orang yang berbuat baik itu memutuskan kebaikannya atau perbuatan baiknya, maka kecintaannya akan melemah, bahkan bisa berbalik menjadi kebencian. Maka kecintaan demikian bukan karena Allah.

Barangsiapa yang mencintai orang lain dikarenakan dia itu memberi sesuatu kepadanya, maka dia semata-mata cinta kepada pemberian. Dan barang siapa yang mengatakan: “saya cinta kepadanya karena Allah”, maka dia pendusta. Begitu pula, barang siapa yang menolongnya, maka dia semata-mata mencintai pertolongan, bukan cinta kepada yang menolong. Yang demikian itu, semuanya termasuk mengikuti hawa nafsu. Karena pada hakekatnya dia mencintai orang lain untuk mendapatkan manfaat darinya, atau agar tehindar dari bahaya. Demikianlah pada umumnya manusia saling mencintai pada sesamanya, dan yang demikian itu tidak akan diberi pahala di akhirat, dan tidak akan memberi manfaat bagi mereka. Bahkan bisa jadi hal demikian itu mengakibatkan terjerumus pada nifaq dan sifat kemunafikan.

Ucapan Ibn Taimiyah rahimahullah ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Az-Zukhruf 67,artinya: “teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya akan menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang bertakwa. adapun orang-orang bertakwa, persahabatan mereka akan langgeng sampai di alam akhirat, karena didasari lillah dan fillah. Yaitu cinta karena Allah.

Sebaliknya, bagi orang-orang yang tidak bertakwa, di akhirat nanti mereka akan menjadi musuh satu sama lain. Persahabatan mereka hanya berdasarkan kepentingan dunia. Diantara motto mereka ialah: “Tidak ada teman yang abadi, tidak ada musuh yang abadi, yang ada hanya kepentingan yang abadi”.

Dasar persahabatan mereka bukan karena dien, tetapi karena kepentingan duniawi. Berupa ambisi untuk mendapatkan kekuasaan, harta dan sebagainya dengan tidak memperdulikan apakah cara yang mereka lakukan diridhoi Allah, sesuai dengan aturan-aturan Islam ataukah tidak.

SIKAP-SIKAP YANG DISUKAI MANUSIA
[a]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Memberi Perhatian Kepada Orang Lain.

Diantara bentuk perhatian kepada orang lain, ialah mengucapkan salam, menanyakan kabarnya, menengoknya ketika sakit, memberi hadiah dan sebagainya. Manusia itu membutuhkan perhatian orang lain. Maka, selama tidak melewati batas-batas syar’i, hendaknya kita menampakkan perhatian kepada orang lain. seorang anak kecil bisa berprilaku nakal, karena mau mendapat perhatian orang dewasa. orang tua kadang lupa bahwa anak itu tidak cukup hanya diberi materi saja. Merekapun membutuhkan untuk diperhatikan, ditanya dan mendapat kasih sayang dari orang tuanya. Apabila kasih sayang tidak didapatkan dari orang tuanya, maka anak akan mencarinya dari orang lain.

[b]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Mau Mendengar Ucapan Mereka.

Kita jangan ingin hanya ucapan kita saja yang didengar tanpa bersedia mendengar ucapan orang lain. kita harus memberi waktu kepada orang lain untuk berbicara. Seorang suami –misalnya-ketika pulang ke rumah dan bertemu istrinya, walaupun masih terasa lelah, harus mencoba menyediakan waktu untuk mendengar istrinya bercerita. Istrinya yang ditinggal sendiri di rumah tentu tak bisa berbicara dengan orang lain. Sehingga ketika sang suami pulang, ia merasa senang karena ada teman untuk berbincang-bincang. Oleh karena itu, suami harus mendengarkan dahulu perkataan istri. Jika belum siap untuk mendengarkannya, jelaskanlah dengan baik kepadanya, bahwa dia perlu istirahat dulu dan nanti ceritanya dilanjutkan lagi.

Contoh lain, yaitu ketika teman kita berbicara dan salah dalam bicaranya itu, maka seharusnya kita tidak memotong langsung, apalagi membantahnya dengan kasar. kita dengarkan dulu pembicaraannya hingga selesai, kemudian kita jelaskan kesalahannya dengan baik.

[c]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Menjauhi Debat Kusir.

Allah berfirman. "Artinya: “Serulah kepada jalan Rabbmu dengan hikmah, dan nasehat yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang baik,” Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dalam kasetnya, menerangkan tentang ayat : "Serulah kepada jalan Rabbmu dengan hikmah". Beliau berkata, “manusia tidak suka kepada orang yang berdiskusi dengan hararah (dengan panas). Karena umumnya orang hidup dengan latar belakang……..dan pemahaman yang berbeda dengan kita dan itu sudah mendarah daging……..sehinnga para penuntut ilmu, jika akan berdiskusi dengan orang yang fanatik terhadap madzhabnya, (maka) sebelum berdiskusi dia harus mengadakan pendahuluan untuk menciptakan suasana kondusif antara dia dengan dirinya. target pertama yang kita inginkan ialah agar orang itu mengikuti apa yang kita yakini kebenarannya, tetapi hal itu tidaklah mudah. Umumnya disebabkan fanatik madzhab, mereka tidak siap mengikuti kebenaran. target kedua, minimalnya dia tidak menjadi musuh bagi kita. Karena sebelumnya tercipta suasana yang kondusif antara kita dengan dirinya. Sehingga ketika kita menyampaikan yang haq, dia tidak akan memusuhi kita disebabkan ucapan yang haq tersebut. Sedangkan apabila ada orang lain yang ada yang berdiskusi dalam permasalahan yang sama, namun belum tercipta suasana kondusif antara dia dengan dirinya, tentu akan berbeda tanggapannya.

[d]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Memberikan Penghargaan Dan Penghormatan Kepada Orang Lain.

Nabi mengatakan, bahwa orang yang lebih muda harus menghormati orang yang lebih tua, dan yang lebih tua harus menyayangi yang lebih muda. Permasalahan ini kelihatannya sepele. Ketika kita shalat di masjid……namun menjadikan seseorang tersinggung karena dibelakangi. Hal ini kadang tidak sengaja kita lakukan. Oleh karena itu, dari pengalaman kita dan orang lain, kita harus belajar dan mengambil faidah. Sehingga bisa memperbaiki diri dalam hal menghormati orang lain. Hal-hal yang membuat diri kita tersinggung, jangan kita lakukan kepada orang lain. Bentuk-bentuk sikap tidak hormat dan pelecehan, harus kita kenali dan hindarkan.

Misalnya, ketika berjabat tangan tanpa melihat wajah yang diajaknya. Hal seperti itu jarang kita lakukan kepada orang lain. Apabila kita diperlakukan kurang hormat, maka kita sebisa mungkin memakluminya. Karena-mungkin-orang lain belum mengerti atau tidak menyadarinya. Ketika kita memberi salam kepada orang lain, namun orang tersebut tidak menjawab, maka kita jangan langsung menuduh orang itu menganggap kita ahli bid’ah atau kafir. Bisa jadi, ketika itu dia sedang menghadapi banyak persoalan sehingga tidak sadar ada yang memberi salam kepadanya, dan ada kemungkinan-kemungkinan lainnya. Kalau perlu didatangi dengan baik dan ditanyakan,agar persoalannya jelas. Dalam hal ini kita dianjurkan untuk banyak memaafkan orang lain.

Allah berfirman.
"Artinya: “Terimalah apa yang mudah dari akhlaq mereka dan perintahkanlah orang lain mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” [Al-A’raaf : 199]

[e]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Memberi Kesempatan Kepada Orang Lain Untuk Maju.

Sebagai seorang muslim, seharusnya senang jika saudara kita maju, berhasil atau mendapatkan kenikmatan, walaupun secara naluri manusia itu tidak suka, jika ada orang lain yang melebihi dirinya. Naluri seperti ini harus kita kekang dan dikikis sedikit demi sedikit. Misalnya, bagi mahasiswa. Jika di kampus ada teman muslim yang lebih pandai daripada kita. Maka kita harus senang. Jika kita ingin seperti dia, maka harus berikhtiar dengan rajin belajar dan tidak bermalas-malasan. Berbeda dengan orang yang dengki, tidak suka jika temannya lebih pandai dari dirinya. Malahan karena dengkinya itu dia bisa-bisa memboikot temannya dengan mencuri catatan pelajarannya dan sebagainya.

[f]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Tahu Berterima Kasih Atau Suka Membalas Kebaikan.

Hal ini bukan berarti dibolehkan mengharapkan ucapan terima kasih atau balasan dari manusia jika kita berbuat kebaikan terhadap mereka. Akan tetapi hendaklah tidak segan-segan untuk mengucapkan terima kasih dan membalas kebaikan yang diberikan orang lain kepada kita.

[g]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Memperbaiki Kesalahan Orang Lain Tanpa Melukai Perasaannya.

Kita perlu melatih diri untuk menyampaikan ungkapan kata-kata yamg tidak menyakiti perasaan orang lain dan tetapSampai kepada tujuan yang diinginkan. Dalam sebuah buku diceritakan, ada seorang suami yang memberikan ceramah dalam suatu majelis dengan bahasa yang cukup tinggi, sehingga tidak bisa dipahami oleh yang mengikuti majelis tersebut. Ketika pulang, dia menanyakan pendapat istrinya tentang ceramahnya. Istrinya menjawab dengan mengatakan, bahwa jika ceramah tersebut disampaikan di hadapan para dosen, maka tentunya akan tepat sekali.

Ucapan itu merupakan sindiran halus, bahwa ceramah itu tidak tepat disampaikan di hadapan hadirin saat itu, dengan tanpa mengucapkan perkataan demikian. Hal ini bukan berarti kita harus banyak berbasa-basi atau bahkan membohongi orang lain. Namun hal ini agar tidak melukai perasaan orang, tanpa kehilangan maksud untuk memperbaikinya.

SIKAP-SIKAP YANG TIDAK DISUKAI MANUSIA
Kita mempelajari sikap-sikap yang tidak disukai manusia agar terhindar dari sikap seperti itu. Maksud dari sikap yang tidak disukai manusia, ialah sikap yang menyelisihi syariat. berkaitan dengan sikap-sikap yang tidak disukai manusia, tetapi Allah ridho, maka harus kita utamakan. Dan sebaliknya, terhadap sikap-sikap yang dibenci oleh Allah, maka harus kita jauhi.

Adapun perbuatan-perbuatan yang tidak disukai manusia ialah sebagai berikut.

Pertama.
Memberi Nasehat Kepadanya Di Hadapan Orang Lain.

Al Imam Asy Syafii berkata dalam syairnya yang berbunyi.

Sengajalah engkau memberi nasehat kepadaku ketika aku sendirian
Jauhkanlah memberi nasehat kepadaku dihadapan orang banyak
Karena sesungguhnya nasehat yang dilakukan dihadapan manusia
Adalah salah satu bentuk menjelek – jelekkan
Aku tidak ridho mendengarnya
Apabila engkau menyelisihiku dan tidak mengikuti ucapanku
Maka janganlah jengkel apabila nasehatmu tidak ditaati

Kata nasehat itu sendiri berasal dari kata nashala, yang memiliki arti khalasa, yaitu murni. Maksudnya, hendaklah jika ingin memberikan nasehat itu memurnikan niatnya semata –mata karena Allah. Selain itu, kata nasehat juga bermakna khaththa, yang artinya menjahit. Maksudnya, ingin memperbaiki kekurangan orang lain. maka secara istilah, nasehat itu artinya keinginan seseorang yang memberi nasehat agar orang yang diberi nasehat itu menjadi baik.

Kedua.
Manusia Tidak Suka Diberi Nasehat Secara Langsung.

Hal ini dijelaskan Al Imam Ibn Hazm dalam kitab Al Akhlaq Was Siyar Fi Mudawatin Nufus, hendaklah nasehat yang kita berikan itu disampaikan secara tidak langsung. Tetapi, jika orang yang diberi nasehat itu tidak mengerti juga, maka dapatlah diberikan secara langsung.

Ada suatu metoda dalam pendidikan, yang dinamakan metoda bimbingan secara tidak langsung. Misalnya sebuah buku yang ditulis oleh Syaikh Shalih bin Humaid, imam masjidil Haram, berjudul At Taujihu Ghairul Mubasyir (bimbingan secara tidak langsung).

Metoda ini perlu dipraktekkan, walaupun tidak mutlak. Misalnya, ketika melihat banyak kebid’ahan yang dilakukan oleh seorang ustadz di suatu pengajian, maka kita tanyakan pendapatnya dengan menyodorkan buku yang menerangkan kebid’ahan-kebid’ahan yang dilakukannya.

Ketiga.
Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Selalu Memojokkannya Dengan Kesalahan – Kesalahannya.

Yang dimaksud dengan kesalahan-kesalahan disini, yaitu kesalahan yang tidak fatal; bukan kesalahan yang besar semisal penyimpangan dalam aqidah. Karena manusia adalah makhluk yang banyak memiliki kekurangan-kekurangan pada dirinya.

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alus Syaikh menjelaskan dalam ceramahnya, bahwa ada empat fenomena yang mengotori dakwah Ahlu Sunnah Wal Jamaah.

[1]. Memandang sesuatu hanya dari satu sisi, yaitu hanya dalam masalah-masalah ijtihadiyah.
[2]. Isti’jal atau terburu-buru.
[3]. Ta’ashub atau fanatik.
[4]. Thalabul kamal atau menuntut kesempurnaan.

Syaikh Shalih menjelaskan, selama seseorang berada di atas aqidah yang benar, maka kita seharusnya saling nasehat-menasehati, saling mengingati antara satu dengan yang lain. bukan saling memusuhi. Rasulullah bersabda yang artinya, “janganlah seorang mukmin membenci istrinya, karena jika dia tidak suka dengan satu akhlaknya yang buruk, dia akan suka dengan akhlaqnya yang baik.

Imam Ibn Qudamah menjelaskan dalam kitabMukhtasar Minhajul Qashidin, bahwa ada empat kriteria yang patut menjadi pedoman dalam memilih teman.

[1]. Aqidahnya benar.
[2]. Akhlaqnya baik.
[3]. Bukan dengan orang yang tolol atau bodoh dalam hal berprilaku. Karena dapat menimbulkan mudharat.
[4]. Bukan dengan orang yang ambisius terhadap dunia atau bukan orang yang materialistis.

Keempat.
Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Tidak Pernah Melupakan Kesalahan Orang Lain.

Sebagai seorang muslim, kita harus bisa memafkan dan melupakan kesalahan orang lain atas diri kita. tidak secara terus-menerus mengungkit-ungkit, apalagi menyebut-nyebutnya di depan orang lain. terkadang pada kondisi tertentu, membalas kejahatan itu bisa menjadi suatu keharusan atau lebih utama. Syaikh Utsaimin dalam kitab Syarh Riyadush Shalihin menjelaskan, bahwa memaafkan dilakukan bila terjadi perbaikan atau ishlah dengan pemberian maaf itu. Jika tidak demikian, maka tidak memberi maaf lalu membalas kejahatannya.

Kelima.
Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Sombong.

Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk surga, barang siapa yang di dalam hatinya ada sifat sombong, walau sedikit saja…….. " sombong itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan manusia menjadi sombong.

[1]. Harta atau uang .
[2]. Ilmu.
[3]. Nasab atau keturunan.

Keenam
Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Terburu-Buru Memvonis Orang Lain.

Dr. Abdullah Al Khatir rahimahullah menjelaskan, bahwa di masyarakat ada fenomena yang tidak baik. Yaitu sebagian manusia menyangka, jika menemukan orang yang melakukan kesalahan, mereka menganggap, bahwa cara yang benar untuk memperbaikinya, ialah dengan mencela atau menegur dengan keras. Padahal para ulama memilik kaedah, bahwa hukum seseorang atas sesuatu, merupakan cabang persepsinya atas sesuatu tersebut.

Ketujuh.
Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Mempertahankan Kesalahannya, Atau Orang Yang Berat Untuk Rujuk Kepada Kebenaran Setelah Dia Meyakini Kebenaran Tersebut.

Syaikh Abdurrahman bin Yahya Al Mu’allimi rahimahullah berkata, “pintu hawa nafsu itu tidak terhitung banyaknya”. oleh karena itu, kita harus berusaha menahan hawa nafsu dan menundukkannya kepada kebenaran. Sehingga lebih mencintai kebenaran daripada hawa nafsu kita sendiri.

Kedelapan.
Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Menisbatkan Kebaikan Kepada Dirinya Dan Menisbatkan Kejelekan Kepada Orang Lain.

Syaikh Utsaimin rahimahullah dalam kasetnya yang menjelaskan syarh Hilyatul ‘ilm, tentang adab ilmu. Beliau menjelaskan, bahwa jika kita mendapati atsar dari salaf yang menisbatkan kebaikan kepada dirinya, maka kita harus husnudzan. Bahwa hal itu diungkapkan bukan karena kesombongan, tetapi untuk memberikan nasehat kepada kita.

Dalam kitab Ighasatul Lahfan, Al Imam Ibn Qayyim menjelaskan, bahwa manusia diberi naluri untuk mencintai dirinya sendiri. Sehingga apabila terjadi perselisihan dengan orang lain, maka akan menganggap dirinya yang berada di pihak yang benar, tidak punya kesalahan sama sekali. sedangkan lawannya, berada di pihak yang salah. Dia merasa dirinya yang didhalimi dan lawannyalah yang berbuat dhalim kepadanya. Tetapi, jika dia memperhatikan secara mendalam, kenyataannya tidaklah demikian.

Oleh karena itu, kita harus terus introspeksi diri dan hati-hati dalam berbuat. Agar bisa menilai apakah langkah kita sudah benar. Wallahu a’lam.


[Sumber : Majalah As-Sunnah edisi 03 – 04/ V11/ 1424/ 2003 M. Diterbitkan oleh Yayasan Lajnah Istiqomah, Jl Solo Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]

Hindari Sifat Hasad

Oleh : Ust. Kholid Syamhudi

Ujian Allah

Allah memberikan nimmatNya tidak sama pada semua hambaNya, ada yang diberi banyak dan ada yang sedikit. Semua itu untuk menguji para hambaNya dalam kehidupan dunia ini. Ujian ini bagaikan api membersihkan dan memisahkan emas dari campurannya. Sehingga dengan ujian ini dapat terlihat mana yang benar-benar beriman dan yang tidak. Oleh karena itu jangan sampai kita kalah dalam ujian tersebut.

Adam vs Iblis.
Karena perbedaan inilah, sering timbul sifat-sifat jelek hamba Allah terhadap yang lainnya. Lihat awal perseteruan Adam dan iblis, ketika Iblis melanggar perintah Allah untuk sujud kepada Adam disebabkan perasaan hasadnya terhadap Adam. Ia merasa Allah tidak adil dalam perintah tersebut, bagaimana tidak? –menurut Iblis-. Ia yang lebih baik dan pantas dari Adam mendapat kemuliaan tersebut, kok malahan diminta sujud padanya, sampai ia mengatakan:
:”Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”. (QS. 7:12)
Perseteruan itu ada disebabkan hasad kepada Adam yang telah Allah muliakan. Akibatnya Allah kutuk Iblis dan menjadikannya musuh anak Adam sampai hari kiamat.
Demikian juga permusuhan orang kafir terhadap kaum mukminin, sehingga mereka mengerahkan segala kekuatan dan daya upaya untuk menjauhkan kaum mukmin dari keimanan, sebagaimana dijelaskan Allah dalam firmanNya:
Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma’afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguh-Nya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. 2:109)

Apa itu Hasad?
Hasad atau dengki adalah sifat seseorang yang tidak suka orang lain lebih darinya atau tidak suka orang lain mendapatkan kenikmatan Allah baik dengan keinginan kenikmatan tersebut hilang darinya atau tidak, bila disertai perasaan ingin menghancurkan milik orang lain maka ini merupakan hasad tingkat tinggi dan paling jelek, seperti hasadnya Iblis kepada Adam.
Sifat hasad ini dapat digambarkan dengan contoh, misalnya tetangga kita memiliki kelebihan harta benda, atau anak atau istri yang cantik jelita atau memiliki kedudukan dan nama baik dimasyarakat, lalu kita iri dan dengki kepadanya, baik berusaha jelek merusaknya ataupun tidak. Sifat hasad ini dapat membuat orang berbuat dzolim kepada tetangganya, bahkan juga ngosipin dan menjelek-jelekkannya didepan orang lain. Tentu ini akan menjadikan suasana bermasarakat yang tidak kondusif dan buruk sekali.

10 Bahaya Hasad

Hasad sangat berbahaya sekali, diantara bahayanya adalah:

1. hasad merupakan sifat orang yahudi yang Allah laknat, sehingga siapa yang memilikinya berarti telah menyerupai mereka. Allah berfirman tentang hal ini:
Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar. (QS. 4:54)

2. orang yang memiliki sifat hasad tidak dapat menyempurnakan imannya, sebab ia tidak akan dapat mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Padahal Rasululloh bersabda:
tidak sempurna iman salah seorang kalian sampai cinta untuk saudaranya seperti cinta untuk dirinya. (Muttafaqun Alaihi) bahkan lebih dari itu orang yang hasad sangat bahagia dan senang bila saudaranya celaka dan binasa.

3. Ada dalam sifat hasad ini ketidak sukaan terhadap taqdir yang Allah berikan kepadanya, sebab siapa yang memberikan nikmat kepada orang lain tersebut? Tentu saja Allah. Seakan-akan ia ingin ikut berperan aktif dalam penentuan takdir Allah dengan merasa bahwa ia lebih pantas mendapatkan nikmat tersebut dari orang lain.

4. Setiap orang lain mendapatkan kenikmatan, semakin besar dan kuat api hasad dalam dirinya, sehingga ia selalu penasaran dan duka serta hatinya terbakar api hasad tersebut.

5. menimbulkan sekap egois yang tinggi dan tidak menyukai kebaikan pada orang lain

6. Hasad memakan dan melumat kebaikan yang dimilikinya sebagaimana api memakan dan melumat kayu bakar yang kering. Ini yang dinyatakan Rasululloh dalam sabdanya:
Jauhkanlah (oleh kalian) dengki (hasad) karena ia akan memakan kebaikan-kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar (riwayat Abu daud)

7. menyusahkan diri sendiri sebab ia tidak mampu merubah sedikitpun takdir Allah. Allah telah memberikan nikmat pada orang lain dan tidak akan tercegah dan terhalangi oleh ulah orang yang hasad tersebut. Walaupun ia telah berusaha dengan mencurahkan seluruh kesungguhan dan kemampuannya tidak akan mungkin merubah takdir Allah yang sudah ditetapkan. Sehingga semua usahanya hanyalah sia-sia belaka.

8. hasad mencegah pemiliknya dari berbuat amal kebaikan dan kemanfaatan. Hal ini karena ia selalu sibuk dengan memikirkan dan melihat milik orang lain sehingga seluruh hidupnya hanya untuk memikirkan bagaimana datangnya kenikmatan pada orang lain dan bagaimana cara menghilangkannya.

9. hasad dapat memecah persatuan, kesatuan dan persaudaraan kaum muslimin. Memang demikian, karena itulah Rasululloh bersabda:
Janganlah saling hasad dan berbuat najasy dan janganlah saling bermusuhan serta saling mendiamkan dan jadilah kalian bersaudara. (riwayat Muslim)

10. hidupnya tidak pernah tenang dan tentram, apalagi bahagia. Orang yang hasad selalu dalam keadaan gundah gulana dan resah melihat orang lain lebih darinya. Padahal mesti ada orang ;ain yang memiliki kelebihan darinya.
Oleh karena itu, Rasululloh melarang kita melakukan perbuatan hasad ini.
Alangkah mengerikan bahaya dan kerusakan yang timbul dari dengki (hasad) ini. Oleh karena itu marilah kita berusaha menanggalkan dan menghilangkannya dari diri kita.

10 Kiat menghindari dan mencegah sifat Hasad.
Setelah mengetahui bahayanya, tentunya kita harus berusaha menghindari dan manjauhkan diri dari sifat yang satu ini. Untuk itu perlu melihat kiat-kiat berikut ini:

1. Belajar dan memahami aqidah islam yang benar, baik tentang keimanan ataupun syari’at serta nmengamalkannya. Kebenaran aqidah merupakan sumber segala perbaikan dan kebaikan. Hal ini dilakukan dengan terus senantiasa menggali isi kandungan Al Qur’an dan Hadits.

2. memahami dengan benar konsep takdir menurut syari’at Islam, sehingga faham kalau segala kenikmatan dan rizqi serta yang lainnya tidak lepas dari ketentuan takdir Allah. Dengan memahami ini diharapkan tidak timbul dalam diri kita rasa iri dan dengki terhadap orang lain, karena tahu itu semua tidak lepas dari ketetapan takdir Allah.

3. meyakini dengan benar dan kokoh bahwa semua kenikmatan tersebut berasal dari Allah dan diberikan kepada setiap orang sesuai dengan hikmah yang diinginkanNya. Sebab tidak semua kenikmatan yang Allah berikan kepada orang lain itu baik untuknya.

4. membersihkan hati dengan berusaha mengamalkan seluruh syari’at islam.

5. memandang dunia dengan segala perhiasannya sebagai sesuatu yang akan punah dengan cepat dan sesuatu yang tidak seberapa dibanding akherat. Demikian juga memandang tujuan akhir kehidupannya adalah akherat yang kekal abadi, sebagaimana firman Allah:
Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman di bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berfikir. Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). (QS. 10:24-25)

6. selalu mengingat bahaya hasad bagi kehidupan dunia dan akheratnya.

7. selalu mencanangkan dalam hatinya kewajiban mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cinta untuk dirinya, sehingga tidak merasa panas melihat saudaranya lebih baik darinya dalam permasalahan dunia. Rasulullah bersabda:
Tidaklah seorang dari kalian sempurna imannya sampai mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya (Mutafaqun Alaihi)

8. berusaha memenuhi hak-hak saudaranya sesama muslim dan mencari teman baik yang mengingatkan dan menasehatinya.

9. selalu mengingat kematian dan pembalasan Allah atas kedzoliman dan kerusakan yang ditumbulkan hasad tersebut.

10. mengingat keutamaan zuhud dan lapang dada terhadap nikmat yang Allah anugrahi kepada orang lain serta kewajiban bersyukur terhadap nikmat yang dianugrahkan kepadanya. Sebab semua ini akan menimbulkan sifat qana’ah dan kaya diri. Sifat qana’ah dan kaya diri ini yang akan membawanya kepada sifat iffah dan takwa. Rasululoh bersabda:
mudah-mudahan dengan selalu berusaha menjauhi dan meninggalkan sifat hasad ini kita semua dimudahkan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akherat.

Sumber :http://ustadzkholid.wordpress.com/

Senin, 04 Oktober 2010

Bahasa Allah

Oleh : Syaefudin Simon

Ketika kecil, kita sering mendengar dari orang tua berbagai kisah yang menggambarkan tentang keadilan Allah SWT. Di antara kisah itu diceritakan ada seorang yang pernah meragukan keadilan Allah ketika membandingkan buah semangka dan beringin. Mengapa pohon semangka itu kecil, padahal buahnya besar -- sedang beringin sebaliknya? Ketika orang itu sedang asyik mengamati 'ketidak-adilan' pada pohon beringin itu, tiba-tiba beberapa buah pohon beringin jatuh dan mengenai kepalanya.

Seketika itu ia langsung beristighfar, ''Allah Mahaadil. Coba seandainya buah beringin sebesar semangka, tentu muka saya sudah hancur.'' Sebelum mengakhiri cerita itu, orang tua kita lalu menyimpulkan bahwa itulah cara Allah memperingatkan hamba-Nya. Orang tadi beruntung karena cepat menyadari kekeliruan jalan pikirannya terhadap keadilan Allah. Ia peka akan 'tanda-tanda' alam sebagai 'bahasa' Tuhan yang mengingatkan kesalahan pandangannya.

Tanda-tanda alam sebagai 'bahasa' Tuhan sesungguhnya tidak hanya terdapat pada kisah orang tua kita di atas. Dalam kehidupan sehari-hari kita juga sering mendapatkan berbagai peringatan dari 'bahasa' Allah itu. Dalam sejarah Islam, misalnya, 'bahasa' Allah untuk memberitahukan kepada manusia tentang kerasulan Muhammad saw, ditunjukkan dengan beraraknya awan yang selalu menaungi beliau ke mana pergi. Banyak rabbi Yahudi, antara lain Buhaira, masuk Islam setelah membaca 'bahasa' Allah tersebut.

Barangkali, kita juga sering diingatkan Allah akan kekeliruan langkah dan perilaku kita dengan bahasa-bahasa alam semacam itu. Tapi, karena kita kurang peka, peringatan-peringatan tersebut sering kita abaikan hingga akhirnya kita terkena bencana.

Sesungguhnya Allah masih terus mengingatkan hamba-hamba-Nya dengan bahasa-bahasa alam. Ketika kita menyaksikan sepotong daun yang layu dan jatuh, itu sesungguhnya 'bahasa' Allah untuk mengingatkan kita bahwa pada saatnya kedudukan daun yang terletak pada setiap bagian pohon akan lengser juga.

Ibn Al-Arabi memandang alam sebagai simbol-simbol eksistensi Tuhan. Karena itu, kejadian sehari-hari di alam bisa merupakan 'perumpamaan' dari 'bahasa' Allah. Alquran menjelaskan, ''Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun bagi orang yang beriman, mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka. Tapi mereka yang kafir mengatakan, ''Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?'' Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah dan dengan perumpamaan itu banyak pula yang diberi petunjuk ... (Al-Baqarah: 26).

Saat ini, di zaman reformasi, 'bahasa' Allah tak hanya ditunjukkan melalui bahasa-bahasa alam yang halus, tapi melalui 'bahasa-bahasa' manusia yang nyata dan terang benderang. Lihat saja, betapa banyak penguasa dan hartawan yang dulu sangat dihormati dan disembah-sembah, tiba-tiba kini dicemooh orang. Itu semua terjadi karena mereka tak mau memperhatikan 'bahasa' Allah yang ada dalam kehidupan sehari-hari.

Sumber : ng.republika.co.id /Jumat, 09 Januari 2009

Waspadai Fatamorgana Dunia

Oleh : KH. Abdullah Gymnastiar

“Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikit pun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (menaati) Allah.” (QS. Luqman [31]: 33)

Kehidupan dunia hanya kesenangan sementara, namun banyak yang tidak selamat pada jebakan itu. Nafsu menjadi pengendali hidupnya, hingga tidak pernah ada kepuasan atas apa yang dimiliki. Semua selalu kurang dalam pandangannya.

Mengapa hanya karena untuk memenuhi kebutuhan dunia, manusia rela mengorbankan waktu, tenaga, fikiran? Seolah-olah dunia adalah segalanya? Penyebabnya karena dunia dianggap penting! Semakin orang menganggap penting suatu perkara, maka semakin besar pula pengorbanan untuk mencapai hal tersebut. Demikian pula dengan kehidupan duniawi, hingga ibadah pun biasa saja, sekadar luput dari kewajiban.

Sebagai contoh, banyak orang menunda panggilan muadzin untuk bersegera melakukan shalat, hanya karena rapat belum selesai. Itu terjadi karena rapat dianggap lebih penting daripada shalat. Betapa sombongnya kita seolah-olah kehidupan ditentukan oleh kita lewat rapat tersebut. Seolah-olah tahu yang akan terjadi, dan semuanya tergantung pada ikhtiar kita. Padahal, segala sesuatu itu terjadi mutlak kehendak Allah yang Maha Menentukan.

Banyak orang yang menggantungkan hidupnya pada ikhtiar, ilmu, tenaga dan kecerdasannya, lupa kepada sang Maha Pemberi Segalanya. Kejayaan dunia, harta dan tahta menjadi tolak ukur kemuliaan dalam hidup. Hatinya telah tertutup dengan silaunya dunia, sebagaimana firman Allah SWT dalam surah al-baqarah [2]: 212): “Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.”

Cukuplah Allah segala-galanya bagi kita, Ia Maha Tahu yang terbaik bagi kita. Senantiasa mendekatkan diri kepada Allah yang Maha Kasih dan Sayang. Insya Allah, bagaimanapun banyaknya masalah yang dihadapi namun bagi orang yang hatinya sudah mantap kepada Allah, tidak ada gentar ataupun takut. Allah telah memberikan ketenangan hati padanya dan solusi dari jalan yang tidak disangka-sangka serta dibukakan hikmah dari setiap kejadian. Semoga kita selalu mendekatkan diri kepada-Nya dan menjadi pecinta Allah sejati.

Sumber : Cybermq.com

Hidup Saat Ini

Pada suatu pagi buta, seorang pemuda mendatangi rumah gurunya yang dikenal bijak di desa itu. Dia mengetuk pintu rumah dengan keras, sambil suaranya terdengar memanggil-manggil gurunya.
Si guru sambil mengusap matanya dan menahan kuap membuka pintu sambil berkata, “Ada apa anakku? Pagi-pagi begini mengganggu nyenyak tidurku. Ada sesuatu yang penting?” Pemuda menjawab, “Ampun guru, maafkan saya terpaksa mengganggu tidur guru. Ada sesuatu yang ingin saya tanyakan.” Si guru kemudian mempersilahkannya masuk ke dalam rumah dan pemuda itu pun segera menceritakan kegundahannya, yakni semalam dia bermimpi dijemput malaikat dan diajak pergi meninggalkan dunia ini. Dia ingin menolak tetapi sesuatu seperti memaksanya harus pergi. Saat tarik menarik itulah dia terbangun sambil berkeringat dan tidak dapat tidur lagi. Timbul perasaan takut dan tidak berdaya membayangkan bila malaikat benar-benar datang kepadanya.
Si pemuda kemudian bertanya kepada gurunya, “Guru, kapan kematian akan datang kepada manusia?” Gurunya menjawab, “Saya tidak tahu anakku. Kematian adalah rahasia Tuhan”.
“Aaaakh, guru pasti tahu. Guru kan selalu menjadi tempat bertanya bagi semua orang di daerah sini,” desak si murid. “Baiklah. Sebenarnya rata-rata manusia meninggal pada usia 70 sampai 75 tahun. Tetapi sebagian ada yang tidak mencapai atau lebih dari perkiraan tersebut.” Merasa tidak puas dia kembali bertanya, “Jadi, umur berapakah manusia pantas untuk mati?” Sambil pandangannya menerawang keluar jendela, sang guru menjawab, “Sesungguhnya, begitu manusia dilahirkan, proses penuaan langsung terjadi. Sejak saat itu, manusia semakin tua dan kapan pun bisa mengalami kematian”. Si murid bertanya terus, “Lalu, bagaimana sebaiknya saya menjalani hidup ini?”
”Hidup sesungguhnya adalah saat ini, bukan besok atau kemarin. Hargai hidup yang singkat ini, jangan sia siakan waktu. Bekerjalah secara jujur dan bertanggung jawab, usahakan berbuat baik pada setiap kesempatan. Jangan takut mati, nikmati kehidupanmu! Mengerti?” Dengan wajah gembira si murid berkata, “Terima kasih guru, saya mengerti. Saya akan belajar dan bekerja dengan sungguh-sungguh, berani menghadapi hidup ini, sekaligus menikmatinya. Saya pamit guru.”
Hiduplah saat ini, tidak usah menyesali hari kemarin, karena hari kemarin sudah berlalu, tidak usah cemas akan hari esok, karena hari esok belum datang,
Hanya hari ini yang menjanjikan kesuksesan , kebahagian bagi setiap orang yang mau dan mampu mengaktualisasikan dirinya dengan penuh totalitas!
Sekali lagi,

Hiduplah saat ini!!

Hidup Untuk Ibadah

Tuhan menciptakan manusia dan jin semata2 hanya untuk menyembahNya. karenanya apapun jalan hidup yang di pilihkan tuhan (ditakdirkan.red) manis maupun pahit harus kita jadikan sebagai sarana ibadah kita kepada Alloh. Kenikmatan hidup harus kita syukuri, kepahitan pun harus kita jadikan rasa syukur pula, karena kalau kita bisa merasakan pahit berarti sebelumnya Dia sudah pernah memberikan kesempatan pada kita untuk bisa merasakan kemanisan hidup, kita tak akan pernah tahu hidup ini pahit kalau sebelumnya kita belum pernah merasakan manis. Maha Adil Tuhan dan maha pintar Dia untuk menganugerahkan satu materi ujian pada hamba2Nya agar bisa lebih tinggi derajatnya dengan jalan memberikan kepahitan hidup, dari pahitnya hidup kita bisa semakin dewasa, semakin tegar, bahkan bisa semakin selalu dekat denganNya, semakin mulia, tentu semua itu bisa kita dapatkan kalau pada saat kita dalam menjalaninya bisa lebih jeli menangkap hikmah2 yg terkandung didalamnya, tapi bukan tidak mungkin banyak pula manusia yang dalam kepahitan malah semakin terperosok ke jurang kekufuran (ma’azdallah) karena dia terlalu enggan untuk menyingkap tabir hikmah yang ada di dalamnya… bahkan menyalahkan sang pencipta… kalau kita bisa lebih teliti lagi, sebenarnya kegagalan, kepahitan, keterpurukan hidup adalah kita sendiri yg menciptanya, kita tak mau mendengar pesan2 dari Tuhan yang dibisikkan lewat nurani kita, kepentingan & kekeruhan duniawi membuat matahati kita buta.

Hidup ini adalah satu2nya sarana kita bisa meraih ridlo Nya, karena hidup adalah ibadah, sepahit apapun hidup yang kita rasakan nikmatilah, jalanilah dengan selalu merasa syukur, daripada kita selalu berkeluh kesah malah menambah pahit hati, lebih baik kita menikmatinya, toh hidup di dunia ini hanya sementara, bukankah kehidupan abadi kelak di ahirat ?!, jadi jangan nodai kehidupan abadi kelak dengan kebodohan2 kita dalam menjalani kehidupan sementara ini. Berharaplah seraya berdoa, semoga kepahitan hidup yang kita jalani sekarang merupakan satu tiket untuk kita bisa memasuki kenikmatan di kehidupan abadi kelak, amin…

Dalam menjalani hidup jangan pernah mengharap apapun pada selainNya, jika tidak, niscaya kita akan banyak merasakan kekecewaan, karena manusia penuh potensi untuk berhianat, berbuat salah, hilaf, dosa dan segala bentuk kekeruhan hati, walaupun kita sudah berusaha semaksimal mungkin menjadi yang terbaik baginya, cobalah sejenak kita merenung dengan kejernihan hati… pernahkah Tuhan sedetikpun berbuat seperti itu pada kita, bahkan kalau kita berhianat kepadaNya sekalipun?!, bukankah kita masih selalu bisa merasakan anugerah kenikmatan dariNya ?!, jadi hanya Dialah satu2nya yang pantas kita jadikan sandaran hati, sandaran hidup & tujuan hidup kita. Menjadi sosok apapun kita, diwujudkan menjadi seorang apapun kita, jadilah yang terbaik, jangan pernah pedulikan balasan yang kita terima dari pasangan kita misalnya, orang tua kita, suami, anak ataupun teman kita. bukankah kita berusaha menjadi baik karena Tuhan, untuk Tuhan bukan untuk siapapun selain Nya, karena Dia tak akan pernah buat kita kecewa dan merana… bersamaNya hati kita selalu damai, walau terasa gersang disekitar kita, bersandar padaNya menjadikan manusia tegar di terjang sehebat apapun gelombang badai kehidupan dunia.

Hidup adalah sarana ibadah, maka berusahalah menjadi yang terbaik di sisi orang-orang yang mengelilingimu, tanpa pernah mengharap balasan perbuatan baikmu dari mereka, kita berbuat baik bukan karena mereka tapi karena Tuhan, hanya Dialah satu2nya Dzat yang patut kita harapkan kebaikannya karena Dia Dzat yang maha baik. Semoga kita selalu diberi petunjuk dari Nya untuk selalu menjadi manusia yang baik dan selalu di anugerahi kekuatan untuk tetap konsisten dalam menjalani kebaikan disisiNya, bersamaNya dan bagiNya, amin Allohumma amin…. *)
(* http://royannach.wordpress.com/2008/01/21/hidup-untuk-ibadah/