Rabu, 06 Oktober 2010

Hakikat Fakir

Oleh : Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar M.A.

Sesungguhnya, kefakiran dan kemiskinan itu tidak identik dengan kefakiran dan kemiskinan harta. Jika kita merasa fakir dan miskin di hadapan kebesaran dan kekayaan Allah SWT, itulah yang dinamakan “al-faqr”. Orang yang merasakan seperti ini bisa saja hartanya banyak. Dan sebaliknya, orang yang angkuh bisa saja dia miskin. Sudah miskin harta, angkuh lagi di hadapan Allah SWT.

Sebaik-baiknya yang kita inginkan adalah bahagia di dunia dan di akhirat. Kalau kita harus memilih, maka lebih baik bahagia di akhirat, daripada bahagia di dunia saja. Dan lebih jelek lagi, jika di dunia tidak bahagia, di akhirat pun tidak bahagia. 
 
Ada 5 (lima) hal keadaan fakir:

Pertama, jika ia diberikan harta, maka ia tidak akan menyukainya, dan ia akan merasa tersiksa dengan harta tersebut dan tidak mau mengambilnya. Ia selalu menjaga diri dari kejahatan dan kesibukan pada harta tersebut. Inilah yang disebut dengan “zuhud”. Sedangkan orang yang memiliki sifat tersebut dinamakan “zahid”.

Hal ini sungguh sangat berat untuk kita jalani. Jika ada orang yang ketika diberikan harta kepadanya, kemudian ia tidak menyukai harta tersebut, ia merasa tersiksa akan harta itu, dan kemudian dia tidak mau mengambilnya. Mengapa? Karena kebutuhan pokoknya sudah terpenuhi, kemudian tiba-tiba mendapatkan lagi harta dari orang lain, sehingga ia sebetulnya merasa tidak terlalu senang dan juga merasa tersiksa akan harta tersebut. Untuk apa harta yang ia dapatkan lagi tersebut lebih dari apa yang ia butuhkan. Jangan-jangan nanti harta tersebut akan memberatkannya dalam perjalanan menuju Allah SWT.

Jarang sekali yang bisa melakukan ini. Pada umumnya adalah kebalikannya, yaitu sudah dapat harta banyak, kemudian berdoa lagi agar hartanya bertambah banyak.

Memang tidak gampang untuk menjadi zahid. Apabila kita sudah mampu merasakan hal seperti ini, maka kita sudah terpilih menjadi orang yang zahid. Sebenarnya juga tidak terlalu berat untuk menjadi zahid, jika kita sudah membiasakan diri untuk bersikap dekat kepada Allah. Yang kita butuhkan sebenarnya bukan harta Tuhan, bukan rahmat Tuhan, bukan rizki Tuhan, melainkan Tuhannya itu sendiri yang kita butuhkan.
“Ambil harta itu, yang saya butuhkan adalah Engkau ya Allah.” Bahkan ada yang mengatakan, “Ambil surga itu, yang sangat saya butuhkan adalah Engkau ya Allah.” Dia lupa kenikmatan surga itu seperti apa, yang penting “aku memiliki-Mu, aku bersama-Mu ya Allah. ” Ia lupakan surga itu sendiri.

Kita masih awam, sehingga belum sampai kepada tingkatan seperti itu. Tapi tidak mustahil, misalkan kita dapat rizki, dapat promosi untuk jabatan baru, maka kita ucapkan, “Terima kasih ya Allah, saya bersyukur kepada-Mu. Tapi sesungguhnya bukan ini yang paling saya butuhkan. Yang saya butuhkan Engkau ya Allah.”
Pada orang yang seperti ini, ketika rizkinya banyak, dia tidak terlalu bahagia, melainkan Allah sebenarnya yang ia butuhkan. Orang yang seperti ini tidak akan pernah mabuk dengan pemberian Tuhan, melainkan Tuhan itulah yang ia butuhkan. Sebaliknya, jika yang diberikan kebalikannya, seperti: miskin, sakit, kematian, maka yang ia ucapkan adalah, “Tidak apa-apa ya Allah, yang penting aku dekat dengan-Mu, yang penting Engkau tidak menjauhiku.”

Jika kita mampu berprinsip seperti ini, insya Allah, surga akan datang lebih awal menjemput kita. Karena ketika diberikan kekayaan, kita kemudian menjadi tidak mabuk akan kekayaan tersebut. Jadi, seandainya harta itu, atau jabatan itu diambil oleh Tuhan, maka kita tidak terlalu merasa kecewa. Mengapa? Karena memang bukan itu yang paling kita butuhkan, melainkan Tuhan-lah yang paling kita butuhkan.
Jadi, yang disebut dengan zuhud itu adalah, bahwa jika lebih daripada kecukupannya, maka itu akan menjadi beban pada dirinya sendiri. Persoalannya, definisi cukup itu berapa?

Tingkat kecukupan antara orang kaya dengan orang miskin tentunya berbeda. Tidak pernah ada orang yang merasa cukup. Bagi orang yang dekat dengan Tuhan, pasti dia mampu mendefinisikan apa pengertian cukup itu. Jika kita tidak tahu batas kecukupan tersebut, merupakan pertanda bahwa ada masalah diri kita dengan Allah.

Orang yang merasa kelaparan saja bisa merasa cukup, “Ya Allah, terima kasih. Mungkin ini yang terbaik pilihan-Mu. Karena jika aku kekenyangan, maka aku tidak bisa khusyu’ dengan-Mu.”
Kita tentunya bercita-cita menjadi orang yang seperti ini. Karena untuk menjadi orang yang zuhud itu tidak mesti harus melarat. Jika kita sudah mampu bersikap agar harta yang yang kita miliki tersebut tidak membebani kita, maka hal tersebut sudah cukup untuk menjadikan kita sebagai seorang zahid.

Misalkan: walaupun hartanya banyak, depositonya banyak, sahamnya di mana-mana, tapi ia merasa tidak terbebani. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena ia selalu berzakat, bahkan juga berwakaf. Alangkah kikirnya bagi seorang yang kaya, jika pengeluarannya hanyalah zakat. Kelewatan kikir bagi orang tersebut, karena hanya 2,5 persen yang ia keluarkan untuk zakat. Sudah selayaknya ia juga mengeluarkan shadaqah, infaq, jariyah, hadiah kepada pembantu yang akan pulang kampung misalnya, ada ujrah (upah yang meningkat) yang diberikan kepada karyawannya. Meningkatkan gaji karyawan, kelebihan dari standardnya itu adalah shadaqah. Hal-hal ini menjadikan seseorang tidak terbebani oleh harta bendanya tersebut.

Bagaimanakah caranya agar kita tidak terbebani, walaupun harta yang kita miliki begitu banyaknya? Tidak bermasalah bagi kita, walaupun Tuhan akan menjemput kematian kita hari ini. Karena semua harta yang kita miliki sudah beres dan bersih. Lebih dari sekedar zakat yang kita keluarkan, bahkan misalkan sudah ada wasiat, bahwa jika kita meninggal, maka sepertiga dari harta kita diikhlaskan untuk fi sabilillah, dan tiga perempatnya untuk keluarga. Sebagai catatan, bahwa di dalam Fiqh Islam juga tidak dibenarkan berwasiat lebih dari sepertiga itu.

Kedua, bahwa ia tidak menyukai harta dengan kesenangan yang dapat menggembirakannya karena dapat meraihnya.
Jika yang pertama adalah orang yang tidak suka dengan harta, sedangkan yang kedua ini ia masih mencari harta. Bahkan ia tidak membenci harta, malahan masih mencari dan menyukainya. Ketika ia diberi harta, maka ia akan zuhud. Jika ia mendapat harta, maka ia akan merasa, bahwa harta tersebut bukan mutlak miliknya, melainkan hanya titipan Allah lewat dirinya. Orang yang memiliki sikap ini disebut sebagai orang yang rela, bukan zuhud. Pada orang yang zuhud (pada yang pertama), memang ada unsur ketidaksukaan lagi kepada harta yang sudah lebih dari batas standard hidupnya.

Ketiga (ini kebanyakan di antara kita), yaitu bila wujud harta itu lebih dicintainya daripada ketidaksenangannya kepada harta.
Maksudnya, cinta terhadap harta lebih dominan dibandingkan tidak senang terhadap harta tersebut (yang hal ini adalah normal), namun tidak sampai menggerakkan orang tersebut untuk mencarinya. Yaitu, tidak semua daftar keinginannya itu akan diburu dan dikejar-kejarnya (ada pembatasan diri). Ia hanya akan mengambil apa yang pantas menjadi haknya. Tetapi jika ia diberikan harta dengan bersih, ataupun gratis tanpa usaha, maka ia juga akan mengambilnya, sepanjang harta tersebut halal.
Pada yang pertama (seperti disebutkan di atas), jika ia mendapatkan harta seperti ini, maka dia akan merasa terbebani. Sedangkan yang ketiga ini, baginya tidak ada urusan hal tersebut (tidak terbebani). Baginya, mendistribusikan harta tersebut lebih mudah dibandingkan untuk memperolehnya. Ia senang jika mendapatkan harta dan keuntungan dengan tiba-tiba tersebut. Inilah kebanyakan di antara kita. Akan tetapi, apabila memerlukan sesuatu usaha dalam mencarinya, maka ia tidak berbuat. Jadi, ada pembatasan-pembatasan diri. Orang yang seperti ini disebut sebagai “orang yang menerima”.

Keempat, ia meninggalkan mencari harta karena kelemahan dan ketidakmampuannya.
Pada yang keempat ini, hidupnya habis untuk mencari harta. Nanti, ketika sudah loyo, sudah tidak ada energi lagi, barulah ia akan berhenti mencari harta. Ketika ia mencari harta, maka ia akan mencarinya dengan kesenangan, meskipun harus berusaha dan bersusah-payah dalam mencarinya. Namun, ketika ia diajak untuk shalat berjamaah misalkan, maka akan banyak sekali alasannya. Orang yang seperti ini di dalam bahasa tasawuf disebut sebagai “orang yang rakus.”

Kelima, ia tidak memiliki harta, padahal ia sangat memerlukannya.
Contoh yang kelima ini adalah orang yang lapar, ataupun orang yang menggelandang di jalanan tanpa memiliki tempat tinggal. Orang seperti ini disebut sebagai “orang yang terdesak.” Ia miskin karena terpaksa, tidak ada jalan lain.

Keterpaksaan seseorang itu menjadi miskin bukanlah disebut al-faqr. “Al-Faqr” itu sebetulnya punya potensi untuk kaya, tapi ia tidak mencapainya, karena ia ingin lebih memprioritaskan dirinya dekat kepada Tuhan.
Kedahagaan itu seperti minum air laut, yang hal tersebut tidak akan menghentikan haus. Dalam hal ini, perlu adanya sikap “al-qana’ah” (tahu diri). Memang, cobaan itu banyak sekali. Misalkan: biasanya ketika pensiun, maka semakin banyak peluang rizki. Itu sebenarnya adalah godaan. Itu adalah cara iblis untuk men-su-ul khatimahkan seseorang. Ketika semakin tua semakin bagus rizkinya, akhirnya semakin tidak punya waktu untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tentunya kita tidak ingin seperti ini. Alangkah lebih baiknya kita regenerasikan kepada generasi penerus kita.

Biasanya, jarang sekali ada yang mau mendelegasikan usahanya, kekayaannya kepada anak-anaknya, sepanjang orang tersebut masih kuat. Sementara anaknya ke sana ke mari mencari kerja. Mengapa tidak ada kepercayaan dalam hal ini? Apakah karena terlalu banyak kekhawatiran, atau karena di alam bawah sadarnya memang sudah disetel oleh iblis dengan berbagai kekhawatiran?
Kadang-kadang, bukan anak kita yang tidak siap, melainkan kita yang terlalu rakus sebagai orang tua. Terlalu besar kekhawatiran kita, padahal itu hanya bisikan iblis. Kita mau menangani semuanya, yang kemudian kita tidak ada waktu lagi untuk beribadah. Suatu waktu ketika ajal menjemput, kita hanya bisa menyesal.
Ketahuilah, bahwa zuhud itu adalah suatu derajat yang merupakan kesempurnaan bagi orang-orang yang baik. Kesempurnaan akhlak seseorang tersebut adalah ketika muncul padanya perasaan zuhud.

Salah satu ciri-ciri dari orang yang zuhud itu adalah “low profile”. Antara orang miskin dengan orang kaya, standard low profile-nya juga berbeda. Bukanlah low profile kalau sesungguhnya orang tersebut sebenarnya pantas untuk memiliki lima lembar pakaian, tapi ia tetap memiliki satu lembar pakaian dengan maksud untuk ber-zuhud. Siapa tahu misalkan pakaiannya itu terpercik najis, maka pakaian mana lagi yang akan ia pakai untuk shalat?

Orang yang ingin ber-zuhud itu sudah semestinya mengantisipasi segala kemungkinan, sehingga kuantitas dan kualitas ibadahnya kepada Allah menjadi tidak berkurang. Antisipasi seperti ini perlu, bagi seorang yang mempunyai perencanaan. Jika akhirat mempunyai perencanaan, maka dunia pun tentunya harus ada perencanaan.

Rasulullah bersabda: “a-‘uzubika minal faqri (Aku berlindung kepada Engkau dari kefakiran).”
Doa Rasulullah tersebut adalah memohon agar tidak menjadi miskin “kere”, bukan miskin seperti yang didefinisikan di atas. Bahkan Allah mengatakan, “qadal faqru ayyakuna kufran (hampir-hampir kefakiran itu menjadi kekufuran).”

Deislamisasi itukan seringnya terjadi di daerah-daerah miskin. Bahwa kadang-kadang karena kefakiran dan kemiskinan, maka orang tersebut pindah agama. Hadits ini memang semestinya menjadi perhatian kita bersama. Jangan sampai kita tidak mau memperbaiki perekonomian kita, yang akhirnya Umat Islam akan menjadi sengsara.

Rasulullah bersabda, “ahyani miskinan wa amitni miskinan (Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, dan matikanlah aku dalam keadaan miskin).” Hadits ini jangan dipertentangkan dengan hadits yang pertama tadi, karena maksudnya berbeda. Hadits yang ini maksudnya adalah miskin di depan Tuhan, sekalipun hartanya banyak.

Kefakiran yang Rasulullah mohon perlindungan dari Allah seperti dalam sabdanya yang pertama di atas adalah kefakiran orang-orang yang terdesak, yang terpaksa miskin karena keadaan. Sedangkan kemiskinan pada sabda yang kedua yang dimaksudkan di atas adalah pengakuan kemiskinan dan kehinaan di hadapan Allah SWT.

Rasulullah besabda: “Ilaqallaha faqiran wa la talqahu ghaniyyan (Bertemulah kepada Allah dalam keadaan fakir, dan janganlah menemuinya dalam keadaan kaya).”

Maksudnya adalah, bertemu kepada Allah dalam keadaan merasa miskin dihadapan-Nya. Karena memang tidak mungkin kita bisa berhadapan langsung dengan Tuhan dengan merasa kaya. Itu artinya ada keangkuhan. Contohnya, lebih bagus mana perut dalam keadaan berpuasa, atau dalam keadaan kekenyangan?

Innalaha yuhibbul faqir al-mutha’affif abbal a’yal (Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang fakir yang menjaga kehormatan diri, yang menjadi bapak keluarga).”
Maksudnya ialah, seorang yang miskin tidak akan mendemonstrasikan kemiskinannya supaya mendapat perhatian dan bantuan dari orang lain.
Rasulullah bersabda: “Orang-orang fakir dari ummatku masuk surga sebelum orang-orang kaya dari mereka, dengan selisih waktu 500 tahun.”

Jadi, orang-orang miskin masuk surga duluan 500 tahun, baru kemudian orang kaya. 500 tahun akhirat itu, satu hari di sana perbandingannya sama dengan 5000 tahun di dunia. Tetapi tentunya kita berhusnudz-dzan, bahwa penantiannya itu bukanlah di neraka, karena akan diperiksa semua kekayaannya lebih teliti lagi.
Jadi, hal ini mungkin sangat penting bagi kita. Marilah kita mencoba memelihara, jangan sampai kita merasa kaya di depan Allah. Ber-tawadhu’lah kita kepada-Nya, karena Allah Maha Tahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar